TEMPO.CO, Jakarta - Aryo Budhi Wicaksono masih mengingat perundungan yang diterimanya saat diketahui positif Covid-19. Aryo kini telah dinyatakan sembuh dari paparan virus tersebut, tapi stigma buruk masih diterimanya.
Sebagai seorang penyintas, pemuda dari Kelurahan Pegangsaan, Jakarta Pusat ini berkisah pengalamannya melalui hari-hari yang berat selama menjalani isolasi mandiri di rumah.
Haryo mengisahkan, awalnya ia tak langsung dinyatakan sebagai pasien Covid-19, namun berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP) pada 15 April 2020.
"Awalnya saya berstatus ODP. Itu karena mertua saya harus dirawat di rumah sakit dan berstatus pasien dalam pengawasan(PDP). Saya lalu berinisiatif melakukan isolasi mandiri. Saya juga laporkan kegiatan saya itu ke RT sama RW tempat saya tinggal," kata Aryo.
Tidak hanya Aryo, seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumahnya harus menjalani isolasi mandiri karena telah berinteraksi langsung dengan pasien PDP.
Aryo melakukan pelaporan kepada pemimpin di lingkungannya itu agar keluarganya mendapatkan akses pengawasan kesehatan dari tenaga medis di kelurahannya.
Kegiatan isolasi mandiri keluarganya selama dua hari berjalan cukup lancar.
Di hari ketiga, Ketua RW di lingkungannya mendatangi kediaman Aryo untuk memberikan makan serta kebutuhan sehari-hari bagi keluarga Aryo.
Ternyata selain mengantarkan makanan, Ketua RW dan Ketua RT di tempatnya tinggal pun memberikan sosialisasi kepada tetangga lainnya.
Sosialisasi yang awalnya diharapkan dapat menggerakkan hati warga di sekitar dapat membantu memberikan bantuan kepada keluarga Aryo justru berubah menjadi ketakutan.
"Sosialisasi bahwa keluarga saya melakukan isolasi mandiri itu ada, tapi ternyata warga sekitar menerima pesannya berbeda. Mereka tidak bisa menerima kondisi keluarga saya yang menjalankan isolasi mandiri," kata Aryo.
Sehari usai kedatangan Ketua RW-nya, Aryo dihubungi oleh Ketua RT yang meminta ia dan keluarga melakukan isolasi mandiri di Rumah Dinas milik Lurah.
"Pemilik kontrakannya tidak mau kamu tinggal di situ. Jadi nanti isolasinya di rumah dinas Lurah atau RPTRA," ujar Aryo menirukan Ketua RT menyampaikan penolakan dari pemilik rumah yang disewa oleh Aryo.
Ia pun berdiskusi dengan anggota keluarga lainnya, mereka sepakat keluar dari rumah kontrakan itu, namun tidak menjalani isolasi di rumah dinas milik Lurah ataupun RPTRA.
"Kami putuskan untuk tinggal di rumah Ayah saya. Kebetulan bisa untuk 10 orang karena itu tiga lantai," kata Aryo.
Usai tinggal di rumah ayahnya, petugas medis mendatangi keluarga Aryo untuk melakukan tes swab yakni pengambilan cairan di tenggorokan dan hidung.
Hasilnya menunjukkan bahwa lima dari sepuluh anggota keluarga yang menjalani isolasi mandiri itu positif Covid-19.
"Lima orang itu yang positif semuanya anak muda. Sepupu saya, anak saya usia empat bulan, saya, dan dua keponakan saya. Kami semua diberi catatan khusus sebagai orang tanpa gejala (OTG)," kata Aryo.
Aryo yang mengetahui dirinya positif Covid-19 itu tetap disarankan menjalani isolasi mandiri oleh petugas medis dari Puskesmas setempat.
Ia pun segera memberi kabar kepada teman-temannya melalui aplikasi pesan singkat terkait kondisinya.
Dengan keadaannya ia tidak terpuruk, ia justru semangat melakukan konsultasi dengan dokter dari Puskesmas Kelurahan Pegangsaan terkait tata cara isolasi mandiri yang benar.
Perundungan
Aryo menceritakan soal perundungan yang diterimanya. Saat itu ia sempat diteriaki oleh tetangganya. Pria 28 tahun itu pun membalas teriakan tetangganya itu.
"Saya bilang aja, kalau memang tidak mau tertular, di rumah aja, jangan kelayapan. Pake masker, bukan jalan-jalan," kata Aryo saat itu.
Adu mulut itu merupakan puncak dari serangkaian penolakan warga terhadap Aryo yang saat itu berstatus pasien Covid-19.
Akibat adu mulut tersebut, tetangga lainnya justru malah semakin menganggap Aryo sebagai gangguan.
"Saya yang saat itu sakit, disebut tukang berisik. Padahal nada saya meninggi karena membela diri," kata Aryo.
Selama 14 hari sejak kejadian itu, petugas medis kembali melakukan tes swab untuk mengetahui kondisi terbaru dari Aryo dan keluarga.
Berkat kedisiplinannya menjalani isolasi mandiri, hasilnya Aryo pun dinyatakan negatif.
Meski sudah dinyatakan sembuh, namun perundungan tidak berhenti diterima oleh keluarga Aryo.
Ia mencontohkan, salah satunya saat Ayah dari Aryo ingin melakukan Salat Subuh di salah satu musala yang mengadakan salat berjemaah di lingkungannya dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19, namun tiba-tiba seluruh jamaah keluar meninggalkan ayahnya.
"Ayah saya sejak saat itu tidak lagi pergi ke musholla. Dia kaget dengan perlakuan itu," kata Aryo.
Aryo pun akhirnya menjadi tidak percaya diri, ia mengaku kesehatan mentalnya tertekan karena penolakan warga pada orang-orang yang terkena Covid-19.
"Saya bahkan sampai minta sama dokter Puskesmas yang nanganin saya. Bisa tidak saya dibuatkan surat keterangan, kalau saya bebas Covid-19 biar masyarakat itu mau nerima saya lagi," kata Aryo menceritakan momen putus asa menghadapi perundungan warga di lingkungannya.
Untungnya pada saat Aryo mengalami keputusasaan itu, Aryo diberikan saran oleh temannya untuk berkonsultasi daring melalui program "Sapa Kamu" untuk menghadapi masalah perundungan yang dialaminya.
"Saya jujur saja masih kadang tidak percaya diri kalau beraktivitas di luar ruangan. Apalagi kalau ingat diintimidasi itu kan. Saya bete (bosan), tapi saya jadi punya misi buat edukasi masyarakat, gimana caranya orang kayak saya (penyintas Covid-19) tidak dicap buruk," kata Aryo.