TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Novel Baswedan menilai tuntutan terhadap dua terdakwa penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulettu tidak dapat mengungkapkan fakta sebenarnya dalam kasus ini.
"Sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat akhirnya terkonfirmasi. Penuntut pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hanya menuntut dua terdakwa penyerang Novel Baswedan satu tahun penjara," bunyi kutipan rilis tertulis Tim Advokasi Novel Baswedan yang diterima Tempo dari salah satu anggotanya, Muhammad Isnur, Kamis, 11 Juni 2020.
Menurut Isnur, tuntutan terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir tidak hanya sangat rendah, tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Terlebih, kata dia, perbuatan yang dilakukan keduanya merupakan serangan brutal terhadap penyidik KPK.
"Penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan," kata Isnur.
Isnur berujar, sejak awal Tim Advokasi Novel telah mengemukakan banyak kejanggalan dalam persidangan ini. Pertama, dakwaan jaksa dinilai berupaya menafikan fakta sebenarnya. Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP terkait penganiayaan.
"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," ujar Isnur.
Kejanggalan kedua, kata Isnur, saksi-saksi penting tidak dihadirkan jaksa di dalam persidangan. Dari pantauan Tim Advokasi Novel, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan. Tiga saksi itu juga sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.
Ketiga, ujar Isnur, peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Menurut dia, hal ini terlihat dari tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa. Tidak hanya itu, kata dia, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun, jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan.
Menurut Isnur dkk, persidangan ini juga menunjukkan hukum tidak digunakan untuk keadilan, tetapi sebaliknya untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman ala kadarnya, menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.
"Padahal jelas menurut Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas," ujar Isnur.
Oleh karena itu Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut majelis hakim tidak larut dalam 'sandiwara' hukum ini dan harus melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan. Selain itu, Presiden Joko Widodo diminta untuk membuka tabir dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen. Selanjutnya, Komisi Kejaksaan dinilai mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa jaksa penuntut umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum yang diketuai Ahmad Patoni menuntut Rahmat Kadir Mahulettu dan Ronny Bugis dengan hukuman satu tahun penjara. Keduanya dijerat dengan Pasal 353 ayat 2 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau sesuai dengan dakwaan subsider.