TEMPO.CO, Jakarta -Terkait KTP elektronik atau E-KTP buronan Kejaksaan Agung Djoko Tjandra, Lurah Grogol Selatan, Asep Subhan berujar mengatakan kamera CCTV yang ada di kantornya memang rusak.
Karena itu, Asep mengatakan kelurahan tidak memiliki rekaman saat buronan kakap, Joko atau Djoko Tjandra mengurus pembuatan E-KTP di sana pada 8 Juni 2020.
"Jadi tiga bulan sebelum Juni ini CCTV mengalami masalah. Saya sendiri selaku lurah yang memerintahkan untuk mencabut CCTV itu, karena decoder-nya untuk perekaman ada di ruang lurah, dan itu menimbulkan suara kurang nyaman untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan," ujar Asep di kantornya, Selasa, 7 Juli 2020.
Asep berujar, kantornya yang juga merupakan kantor dari Satuan Pelaksana Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta Satpol PP Kelurahan Grogol Selatan ini selesai direnovasi pada akhir 2019 lalu. Dia mengaku baru masuk ke kantor tersebut pada Januari 2020.
"Pas saya masuk kondisinya memang CCTV ini agak bermasalah," kata Asep.
Asep mengatakan, Djoko Tjandra membuat KTP di sana bersama seorang kuasa hukum. Dia mengaku sempat berkomunikasi dengan Djoko, namun hanya untuk mengarahkan ke Satpel Dukcapil Grogol Selatan.
Saat ditanya apakah dia mengetahui bahwa Djoko merupakan buronan penegak hukum, Asep menjawab tidak tahu. "Tidak. Kami menganggap semua yang datang ke kelurahan Grogol Selatan ini memerlukan pelayanan. Kita tidak mengecek satu per satu dia siapa, dia siapa, yang penting dia punya identitas yang menunjukkan bahwa dia memang warga kita," kata dia.
Djoko Tjandra merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko. Namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atau PK terhadap kasus ini ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Djoko.
Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Djoko sebagai buronan. Belakangan, Djoko diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan.