TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Bonyamin Saiman menilai penanganan dugaan korupsi di Universitas Negeri Jakarta atau UNJ keliru sejak awal, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Kesalahan itu menurut dia, karena operasi tangkap tangan oleh penyidik KPK memang gagal.
"Karena KPK enggak mau malu, sekelas KPK melakukan OTT kok gagal, jadi ngomong tidak ada penyelenggara negara," ujar Bonyamin kepada Tempo pada Jumat, 10 Juli 2020. Padahal, menurut dia, rektor adalah pejabat eselon 1.
Menurut Bonyamin, sejak awal KPK sudah mengetahui bahwa peristiwa di UNJ hanya merupakan saweran berupa pemberian tunjangan hari raya atau THR kepada pegawai di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut KPK, tak ada unsur paksaan seperti pungli atau suap.
"Karena kalau OTT harusnya sudah terjadi perbuatan. Tapi karena mau gagah-gagahan, buatlah OTT." Kasus ini kemudian diserahkan ke polisi, sehingga semakin salah.
MAKI telah melaporkan penyidik KPK ke Dewan Pengawas di komisi antirasuah itu. Dia berharap penyidik tersebut diberikan sanksi oleh KPK.
Menurut Bonyamin, peristiwa di UNJ ini harusnya diakui KPK sebagai kegagalan melakukan operasi. Jika mau memberi sanksi, rektor UNJ bisa diturunkan dari jabatannya karena penyelenggara negara memang tidak dibolehkan memberikan saweran, parsel atau THR.
"Kalau seperti itu kan pas, lebih enak. Jangan malah diserahkan kasusnya ke polisi.” KPK dan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan OTT dalam kasus ini pada 20 Mei 2020 dengan menangkap Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor.
Rektor UNJ, Komarudin diduga meminta dekan fakultas dan lembaga lain di universitas itu untuk mengumpulkan THR masing-masing Rp 5 juta melalui Dwi Achmad. THR akan diserahkan ke Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti dan sejumlah staf SDM di Kemendikbud. Pada 19 Mei 2020, terkumpul uang sebesar Rp 55 juta dari 8 Fakultas, 2 Lembaga Penelitian dan Pascasarjana di UNJ.
Keesokan harinya, Dwi Achmad membawa uang Rp 37 juta ke kantor Kemendikbud. Dia menyerahkan uang itu kepada Kepala Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp 5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp 2,5 juta, serta staf SDM Parjono dan Tuti masing-masing sebesar Rp 1 juta. Setelah itu Dwi diciduk tim KPK dan Itjen Kementerian.
Beralasan tidak ada penyelenggara yang terlibat, KPK menyerahkan kasus ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan. Kasus ini diserahkan kedua kalinya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Belakangan, Polda menghentikan kasus ini. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan kasus ini dihentikan karena penyidik tidak menemukan indikasi korupsi.
M YUSUF MANURUNG | JULNIS FIRMANSYAH