TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Universitas Nasional yang tergabung dalam Aliansi Unas Gawat Darurat berunjuk rasa di depan gerbang kampus menuntut Rektor El Amry Bermawi Putera mencabut surat keputusan pemecatan dan skorsing kepada mahasiswa yang meminta pemotongan uang kuliah tunggal (UKT) sebesar 50-65 persen, Senin, 13 Juli 2020.
Sebelumnya, sejumlah Mahasiswa Universitas Nasional mengaku diskors lantaran berunjuk rasa memprotes kebijakan kampus terkait pemotongan biaya paket semester. Mereka meminta pemotongan sebesar 50-65 persen dari biaya normal di tengah masa pandemi Covid-19 saat mahasiswa belajar dari rumah.
"Saya hanya mengetahui dua kawan saya di-DO (drop out), saya diskors. Lalu empat mahasiswa yang lain dapat peringatan keras," kata Alan Gumelar, ketika dihubungi Tempo, Kamis, 9 Juli 2020 lalu. Ia menduga sanksi kepada mahasiswa akan bertambah.
Aksi protes yang berujung dua mahasiswa dipecat ini berlangsung selama lima kali. Dua yang dipecat di antaranya adalah Deodatus Sundese dan M. Wahyu Krisna Aji.
Krisna menuturkan, surat pemberhentian secara permanen itu dikirim langsung ke rumahnya. "Pascaperistiwa tersebut, disusul dengan surat DO yang dikeluarkan Dekan," kata Krisna. Surat yang diterima pada Kamis, 9 Juli ini langsung mencabut statusnya sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unas.
"Respons atas pemecatan tersebut berbentuk kampanye media yang di posting serentak oleh mahasiswa UNAS dengan hastag #UNASGAWATDARURAT," ucapnya. Ia berujar, setelah kampanye itu, pihak kampus langsung memanggil 27 mahasiswa.
Selain Deodatus dan M. Wahyu Krisna Aji yang dipecat. Mahasiswa lainnya yaitu, Alan dan Rifqi diskorsing selama enam bulan. Sanksi peringatan keras juga diberikan kepada mahasiswa yang lain yaitu, Thariza, Octavianti, Immanuelsa, Fikram, Zaman, dan Robbi.
Aksi mahasiswa yang tergabung dalam Unas Gawat Darurat ini berawal dari respons mahasiswa atas Surat Keputusan Rektor Nomor 52 Tahun 2020 tentang pemotongan biaya semester tahun akademik 2019-2020.
SK itu mengatur pemotongan biaya Rp 100.000 untuk mahasiswa aktif. Aksi selanjutnya mahasiswa menuntut supaya pihak Universitas Nasional memotong biaya paket semester sebesar 50-65 persen. "Kami meminta kampus memotong 50-65 persen uang paket semester," kata Deodatus.
Kepala Hubungan Masyarakat Universitas Nasional Marsudi mengakui, kampus tersebut telah menjatuhkan sanksi kepada sejumlah mahasiswanya. Menurutnya sanksi pemecatan, skors, maupun peringatan keras sudah tercantum dalam tata tertib universitas.
"Pemecatan itu terkait dengan mahasiswa tersebut sudah melanggar tata tertib Nomor 112 Tahun 2014," kata Marsudi ketika dihubungi pada Ahad, 12 Juli 2020.
Ia menyatakan sanksi yang dijatuhkan ke sejumlah mahasiswa kampus itu sesuai prosedur. Menurutnya, sebelum kampus memecat mahasiswa dilakukan audiensi bersama orang tua mahasiswa terkait.
"Jadi tidak sepihak, maksudnya sudah dilakukan pemanggilan dan pengarahan," katanya. Unas, katanya, melakukan skorsing dan drop out berdasarkan SK tersebut. "Jadi, tidak asal melakukan pemecatan."
Ia menambahkan kalau pelanggaran ringan mahasiswa diberi peringatan keras, melanggar sedang diberi skors."Yang dianggap pelanggaran berat, ya drop out atau pemecatan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyayangkan sikap Universitas Nasional yang dinilai represif memberikan sanksi drop out bagi mahasiswa. Serta pelaporan pidana terhadap mahasiswa yang menyampaikan kritik dalam tuntutan keringanan uang kuliah tunggal atau UKT dan transparansi akuntabilitas pihak kampus.
"Kami berpendapat sanksi ini tidak tepat," kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, ketika dihubungi Tempo, Jumat, 10 Juli 2020. Sanksi ini, kata dia, justru menambah persoalan di lembaga pendidikan khususnya Unas.
"Bukan memecahkan masalah utama mengenai transparansi akuntabilitas dan beratnya biaya pendidikan yang dikeluhkan dalam situasi pandemi Covid-19, yang disuarakan mahasiswa bukan hanya di Unas, tetapi di berbagai kampus," kata Arif.
IHSAN RELIUBUN