TEMPO.CO, Jakarta - Asep Subhan enggan berkomentar atas penonaktifannya sebagai Lurah Grogol Selatan. Dia dicopot dari jabatannya karena dituding membantu penerbitan kartu tanda penduduk atau KTP elektronik untuk seorang buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.
"Cukup ya, saya tidak komentar," kata Asep Subhan kepada Tempo pada Senin, 13 Juli 2020.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menganggap Asep telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai lurah dalam pemberian pelayanan penerbitan E-KTP Djoko Tjandra. Karena itu, Anies menonaktifkan Asep.
"Laporan investigasi Inspektorat sudah selesai dan jelas terlihat bahwa yang bersangkutan telah melanggar prosedur penerbitan KTP-el tersebut," ujar Anies di Jakarta pada Ahad, 12 Juli 2020.
Sebelumnya, Asep menjelaskan bahwa pembuatan KTP itu bermula saat kuasa hukum Joko, Anita, menanyakan tentang nomor induk kependudukan kliennya di wilayah tersebut. Setelah menerima informasi itu, Asep mengaku ia berkoordinasi kepada Satuan Pelaksana Kependudukan dan Cacat Sipil Kelurahan Grogol Selatan yang berada satu gedungnya dengan kantor kelurahan.
"Setelah dicek, NIK atas nama Pak Djoko masih aktif, cuma memang belum memiliki E-KTP," kata Asep di kantornya, Selasa, 7 Juli 2020.
Asep Subhan lantas memberitahukan kepada kuasa hukum Djoko agar kliennya datang ke kantor Satpel Dukcapil jika ingin membuat E-KTP. Djoko dan kuasa hukumnya datang ke kantor yang beralamat di Jalan Kubur Islam, Jakarta Selatan itu pada Senin, 8 Juni 2020.
"Mereka datang jam 07.00 atau 08.00," kata Asep.
Di sana, Asep berujar dirinya memang sempat berkomunikasi dengan Djoko. Namun, komunikasi itu disebut hanya sebatas mengarahkan Djoko bertemu dengan Satpel Dukcapil. Setelah itu, Asep mengaku melanjutkan aktivitasnya sebagai lurah. Saat ditanya apakah dia mengetahui bahwa Djoko merupakan buronan penegak hukum, Asep menjawab tidak tahu.
"Tidak. Kami menganggap semua yang datang ke kelurahan Grogol Selatan ini memerlukan pelayanan. Kita tidak mengecek satu per satu dia siapa, dia siapa, yang penting dia punya identitas yang menunjukkan bahwa dia memang warga kita," kata Asep.
Ihwal E-KTP Djoko yang langsung rampung dalam satu hari, Asep beralasan bahwa instruksi dari Gubernur memang memerintahkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sefektif dan secepatnya. Selain itu, kata dia, berdasarkan sistem memang memungkinkan.
"Memungkinkan untuk dicetak hari itu, kemudian blangkonya terpenuhi oleh petugas," kata Asep.
Joko Tjandra merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Joko. Namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atau PK terhadap kasus ini ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Joko.
Joko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Joko sebagai buronan. Belakangan, Joko diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan.