TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua Surya Anta Ginting mengatakan transaksi jual-beli narkotika, seperti sabu dan ganja, sebagai hal yang lumrah terjadi di dalam Rumah Tahanan kelas 1 atau Rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Surya mengklaim melihat sendiri transaksi itu selama ditahan dalam kasus pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana Merdeka pada Agustus 2019 lalu. Cerita tersebut juga ia bagikan dalam sebuah utas di akun Twitternya, @SuryaAnta.
Salah satu kejadian yang paling ia ingat adalah saat Surya Anta masih berada di ruang penampungan alias ruang Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling). Surya mengatakan saat itu dirinya baru dua pekan berada di sana. Dari lantai atas, Surya ditawarkan narkotika oleh tahanan lain. “Ada yang mau sabu buat malam minggu? Om kribo mau sabu gak? Enggak saya bilang. Mau ganja gak? Enggak,” kata Surya menirukan tawaran dari tahanan tersebut lewat pesan suara pada Selasa sore, 14 Juli 2020 kepada Tempo.
Surya bercerita, sejak malam pertama dirinya telah melihat sendiri transaksi narkotika tersebut. Persis di atas lapak tempat Surya tidur, terdapat lobang yang dipakai oleh para tahanan untuk bertransaksi. Tak hanya narkoba, transaksi itu meliputi uang, telepon genggam, atau barang lain yang didatangkan dari luar Rutan. “Jadi sejak malam pertama saya sudah tau ada transaksi itu,” ucap Surya.
Ketika dipindahkan ke blok J sel kamar 18, Surya baru mengenal istilah “Apotek”. Menurut Surya, Apotek adalah istilah untuk kamar tahanan yang menjual narkotika jenis sabu. Ia menjelaskan, Blok J18 dibagi menjadi 3 kamar, 1 kamar di bawah dan 2 kamar di atas. Apotek, kata dia, terdapat di kamar bagian atas sel tersebut. Tak hanya penjualan, Surya menyebut kamar itu kerap dipakai untuk mengkonsumsi narkotika.
Surya menduga petugas Rutan Salemba tahu soal aktivitas tersebut. Soalnya, kata dia, ada uang setoran yang dibayarkan oleh tahanan kepada petugas yang disebut uang koordinasi. Bahkan, Surya mengatakan para penjual itu akan diberi tahu lebih dulu manakala akan ada inspeksi mendadak. “Sudah dapat informasi lebih dahulu. Informasi dari frontman, dari pengurus, dari petugas kepada pengurus,” kata dia. Ada juga istilah “nyelem”, dipakai untuk para penjual narkotika yang tidak berkoordinasi dengan petugas.
Surya tidak tahu besaran uang koordinasi yang harus dibayarkan tersebut. Namun, uang koordinasi itu tak hanya berlaku untuk penjual narkotika. Menurut dia, uang koordinasi juga harus dibayarkan kepada petugas bagi tahanan yang hendak menyelundupkan telepon genggam dan barang lainnya dari luar rutan, atau sekedar keluar dari sel di luar jam yang diperbolehkan.
“Yang saya tahu uang koordinasi masukin HP baru dari luar, Rp 300 ribu,” kata Surya.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Rika Aprianti, mengatakan tim dari Ditjen PAS bersama Kantor Wilayah Kemenkumham DKI sedang melakukan penelusuran terhadap cerita yang diungkap Surya. Menurut Rika, kelebihan kapasitas alias overcrowding di Rutan salemba harus diatasi. Hal tersebut, kata dia, berpotensi memunculkan permasalahan lainnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga telah menanggapi cuitan Surya tersebut. Ia mengatakan cerita itu belum diketahui kebenarannya. Meski begitu, Yasonna mengatakan ia telah memerintahkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reinhard Silitonga untuk memeriksa Rutan Salemba. "Sudah saya perintahkan diperiksa. Dirjen sudah saya perintahkan memeriksa ke sana," kata dia.
Yasonna pun enggan menjelaskan lebih lanjut langkah yang akan diambil Kemenkumham. Meski persoalan kelebihan kapasitas dan transaksional di rutan dan lapas sudah acap ditemukan, ia hanya menegaskan cerita Surya Anta itu harus diperiksa terlebih dulu.
ADAM PRIREZA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANDITA RAHMA