TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Mass Rapid Transit Jakarta William Sabandar menyebut pengerjaan MRT Fase 2 lebih sulit ketimbang Fase 1. Sebab, pihaknya harus menghadapi isu cagar budaya, lingkungan, dan penurunan tanah di area pembangunan konstruksi.
"It's a different project, yang tingkat kesulitannya luar biasa," kata dia dalam diskusi virtual, Rabu, 22 Juli 2020.
William menjelaskan pembangunan konstruksi bakal memasuki area cagar budaya. Salah satu cagar budaya yang teridentifikasi adalah kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakata Pusat. PT MRT Jakarta nantinya bakal membangun Stasiun Monas yang salah satu pintu masuknya berada di dalam Monas sisi barat.
Pengerjaan proyek sepenuhnya dilakukan di bawah tanah agar tidak mengganggu lalu lintas di Jalan Medan Merdeka Barat. Di area pengerjaan ini, menurut dia, pernah dimanfaatkan sebagai lokasi pasar malam bernama Pasar Gambir pada 1930-an. Jaraknya sekitar 3-4 meter di bawah tanah.
Kemudian PT MRT Jakarta juga perlu memastikan lingkungan sekitar Monas tidak terdampak akibat pembangunan. Salah satu nilai lingkungan yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengatur pemindahan pohon.
MRT Fase 2 juga terintegrasi dengan proyek revitalisasi Monas. William berujar, aspek integrasi itu tampak dari desain Stasiun Monas yang telah disesuaikan dengan revitalisasi Monas.
Pembahasan desain, lanjut dia, didiskusikan sejak tahap perencanaan dan sudah disetujui Komite Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang diketuai Menteri Sekretaris Negara."Selain Monas proyeknya mahal dan besar, proyeknya masuk saspek bersejarah," jelas dia.
Dari Stasiun Monas, rute kereta Ratangga Fase 2 bakal maju menuju Stasiun Kota hingga Ancol Barat. William memaparkan penurunan tanah merupakan isu lama di kawasan utara Jakarta.