TEMPO.CO, Bogor -Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli yang tahun ini pada hari Rabu ini. Namun sejumlah ketimpangan dan kesenjangan terhadap anak-anak Indonesia masih terjadi.
Khususnya pada era belajar daring atau online akibat pandemi Covid-19. Sebab, tidak hanya di perkampungan pelosok yang jauh dari jangkauan sinyal operator seluler, siswa Sekolah Dasar di perkotaan pun harus mengorbankan rasa malunya untuk ikut nebeng 'HP' temannya.
"Saya hanya tukang ojek biasa, belum mampu ke beli HP," ucap Bayu, 42 tahun, warga Tanah Sareal, Kota Bogor di kediamannya, Kamis 23 Juli 2020 bertepatan Hari Anak Nasional.
Bayu mengatakan selain anaknya, juga banyak anak-anak tetangga lainnya yang lain ikut nebeng belajar ke tetangganya yang memiliki gawai canggih.
Bayu menyebut dirinya heran dengan kejadian seperti ini, Pemerintah belum juga terbuka atau terketuk hatinya untuk kembali membuka sekolah secara langsung demi masa depan pendidikan anak-anaknya.
Padahal di hari pertama masuk sekolah, dia harus merogoh kocek Rp. 105 ribu untuk pembayaran buku Lembar Kerja Siswa atau LKS. "Belum lagi pembayaran raport dan lain-lain. Sekarang dibebankan harus punya gawai Android," ucap Bayu sambil menghela nafasnya dalam-dalam.
Selain Bayu, Intan Safitri, mengaku kewalahan dengan proses pembelajaraan online untuk ke empat anak-anaknya. Intan menyebut selain terbatasnya kepemilikan gawai, juga waktu belajar anak-anaknya hampir bersamaan.
Artinya secara tidak langsung Intan berharap ada perbedaan waktu belajar untuk anak-anaknya, agar bisa mengoftimalkan gawai yang dimiliki. "Kan bisa gantian kalau beda jamnya, ini mah bareng, repoooot," Intan seolah meneriakkan curhatnya.
Selain terbatas akan gawai untuk belajar online anak, Intan menyebut juga terkendala akan jaringan provider yang sering mengalami gangguan atau turun naik signal. Sehingga Intan tidak bisa membayangkan proses belajar online bagi siswa-siswi yang berada di pelosok-pelosok desa.
"Nah kan harus ada ceklis kehadiran di group belajar. Gegara ini, info-info penting ketutup. Gimana ortu yang gak ngerti gadget coba!" ucap Intan ketus.
Mendapati informasi seabrek belajar dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti ini, Persatuan Guru Honorer (PGH) Kabupaten Bogor menginisiasi belajar jemput bola atau door to door. Ketua PGH, Abdul Halim, menyebut anggotanya bergerak terpisah dan prioritas ke daerah pelosok untuk menjadi relawan pengajar bagi anak-anak yang tidak memiliki gadget.
Untuk waktunya dalam satu pekan dua hari kunjungan, sisanya siswa diberi tugas untuk pertemuan kedua dikumpulkan. "Kalau tidak kita siasati seperti ini, dari mana mereka bisa mendapat pendidikan di masa pandemi Covid-19 ini," kata Halim.
M.A MURTADHO