TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan penularan virus Covid-19 di DKI Jakarta, akan semakin sulit dikendalikan selama pemerintah tidak bersedia kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dengan ketat. Saat ini, kata dia, terdapat kerancuan kebijakan karena pemerintah telah menerapkan transisi normal baru, tapi masih menerapkan istilah pembatasan sosial berskala besar.
"Yang dilakukan pelonggaran atau pembatasan sosial? Kenyataannya kan sudah pelonggaran," kata Tri saat dihubungi, Senin, 10 Agustus 2020. Energi Pemerintah DKI diperkirakan terkuras habis jika hanya mengandalkan pelacakan dan isolasi pasien.
Pemerintah DKI, bakal semakin sulit mengendalikan virus ini jika angka kasus bertambah tinggi. Apalagi harapan kepada vaksin baru bisa dipakai pada tahun depan. "Itu juga kalau uji klinisnya berhasil."
Menurut Tri, pengendalian yang paling tepat adalah menerapkan protokol kesehatan dan melakukan pembatasan sosial yang ketat di zona merah Covid-19. "Selama masih banyak interaksi dan protokol lemah, mustahil wabah ini bisa diturunkan dengan cepat."
Beberapa negara seperti Malaysia, Filipina dan negara lainnya berani mengambil kebijakan mengkarantina wilayah begitu kasus kembali muncul. Yang terjadi di Jakarta, kasus terus bertambah tinggi, tapi pemerintah masih saja mengabaikannya.
"Untuk menekan angka penularan virus di Jakarta, sudah tidak ada formula lain kecuali kembali melakukan PSBB dengan ketat," ujar epidemiolog itu.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta per 8 Agustus mencatat, penambahan pasien positif Covid-19 di Ibu Kota sebanyak 721 orang dengan total 25.242 kasus. pasien sembuh juga bertambah 509 orang dan meninggal naik 12 orang.
Penambahan pasien positif ini yang terbanyak selama pandemi Covid-19. Positivity rate-nya 7,4 persen atau di atas standar World Health Organization (WHO), yakni 5 persen.