TEMPO.CO, Jakarta -Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan setidaknya ada dua kemungkinan motif dalam kasus pembunuhan bos pelayaran di Kelapa Gading. Ia memaparkan hal ini menyambung dugaannya akan pelaku yang seorang pembunuh bayaran.
“Motif dominan dalam pembunuhan bayaran adalah bisa asmara yg porak-poranda, atau untuk memperoleh uang misalnya persaingan usaha, perebutan warisan,” kata Reza lewat pesan singkat kepada Tempo, Senin, 17 Agustus 2020.
Baca Juga: Penembakan di Kelapa Gading, Pengamat Duga Pembunuh Bayaran
Ia menjelaskan perbedaan antara kejahatan yang dilakukan oleh pembunuh bayaran dan yang dilakukan secara langsung oleh orang yang bersangkutan dengan korban. Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat seseorang bisa menyewa pembunuh bayaran, yaitu ketidakmampuan si dalang kejahatan untuk mengontrol emosi diri sendiri, tidak punya akses kepada instrumen yang dibutuhkan untuk menghabisi korban, juga ingin melarikan diri dari hukum.
“Pembunuh bayaran tidak ada inner urge untuk menghabisi orang. Sepenuhnya didorong insentif eksternal,” tambahnya.
Cuplikan rekaman CCTV menunjukkan saat pelaku menembak Sugiarto di Ruko Royal Gading Square, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis siang, 13 Agustus 2020. Dalam penembakan ini, korban tewas dengan lima luka tembak di kepala dan tubuhnya. Istimewa
Ia juga berkomentar perihal kejadian penembakan yang dilakukan di siang hari. Menurutnya anggapan bahwa siang hari dan kondisi keramaian tidak ideal untuk melakukan kejahatan dapat dipatahkan dengan Bystander Effect Theory. Teori ini menyebutkan bahwa ketika ada kemalangan dalam kondisi keramaian di satu lokasi, dorongan bagi orang sekitar untuk menolong justru menurun.
“Laksana bola bekel yang terus memantul-mantul, keterpanggilan untuk membantu terus berpindah dari satu orang ke orang lainnya,” kata Reza. Ia menilai masyarakat juga seringkali lengah saat berada di keramaian pada siang hari, karena tidak menduga peristiwa kejahatan akan terjadi pada saat tersebut.