TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mempersiapkan aturan soal sanksi progresif, yang nantinya membuat warga yang tidak memakai masker bisa dikenakan denda kelipatan sampai Rp 500 ribu jika diketahui mengulang pelanggarannya selama PSBB transisi.
Tempo mewawancarai sejumlah warga Jakarta untuk mengetahui pendapat mereka tentang wacana sanksi berlipat bagi pelanggar protokol kesehatan tersebut.
Seorang pengasuh panti asuhan yatim-piatu, Sopia, 27 tahun, menyebut sanksi yang berlipat bisa membuat para pelanggar tidak berani mengulang pelanggarannya dan menjadi lebih disiplin memakai masker. “Saya setuju. Biar tidak diulangi lagi. Biar jadi disiplin,” ujarnya di Kayu Manis, Jakarta Timur, Rabu, 19 Agustus 2020.
Muhammad Halim, 25 tahun, menyampaikan pendapat yang berbeda.
Menurut pegawai yang berkantor di area pasar Cipulir itu, sanksi progresif boleh saja diterapkan, tetapi harus disesuaikan dengan jenis pelanggaran dan kemampuan warga. Berdasarkan pengamatan Halim selama di pasar, banyak kalangan yang tidak semestinya diberi hukuman terlalu memberatkan baik secara fisik maupun finansial, apalagi kondisi keuangan mereka juga sedang terpuruk.
Baca juga : Puluhan Pelanggar Protokol Kesehatan Terjaring Operasi Tibmask di Jakarta Timur
“Dari sisi kesehatan sih memang harus ada sanksi. Tapi kan di lapangan berbeda. Contohnya kuli panggul, tidak mungkin mereka didenda ratusan ribu karena tidak pakai masker, begitu orang-orang tua, tidak mungkin mereka disuruh kerja berat. Jadi perlu aturan yang jelas dan jenis sanksi yang berbeda sesuai pelanggaran dan kemampuan,” ujar Halim.
Aturan mengenai sanksi progresif tengah dipersiapkan oleh Pemrov DKI, setelah mendapati para pelanggar PSBB transisi yang terus bertambah dan tak kunjung jera, sementara angka penularan Covid-19 terus meningkat. Penegasan hukuman tersebut juga didukung sejumlah Anggota DPRD.
Sebelumnya, Peraturan Gubernur nomor 51 tahun 2020 tentang PSBB transisi, para pelanggar protokol kesehatan yang tidak mengenakan masker bisa dikenakan sanksi berupa denda Rp 250 ribu. Adanya aturan sanksi progresif nantinya bisa melipatgandakan hukuman tersebut, sehingga warga yang kedapatan melanggar lebih dari sekali bisa dihukum denda kelipatan sampai Rp 500 ribu.
Seorang penjual burung hias, Iyus, 44 tahun, mengatakan bahwa ia setuju dengan penerapan sanksi progresif, asalkan pelanggar yang tidak mampu membayar denda bisa memilih hukuman lain seperti kerja sosial.
Menurutnya, durasi kerja sosial yang dilipatgandakan juga bisa memberikan efek jera bagi para pelanggar.
“Saya engga punya uang kalau denda. Hukumannya nyapu jalanan saja, sekalian ditambah jadi 2 jam saja biar jera,” ujar Iyus.
Pendapat yang sama disampaikan seorang pengemudi ojek daring, Yusuf, 41 tahun, yang juga merasa keberatan kalau harus membayar denda, tetapi ia setuju selama pelanggar bisa memilih hukuman kerja sosial sekalipun durasi ataupun intensitasnya berlipat ganda.
“Kalau denda, saya jelas keberatan. Hari ini saja saya baru dapat Rp 9 ribu, padahal perlu uang buat beli kuota. Lebih baik kalau hukuman bersihin jalanan, itu saya rasa bagus,” ujar Yusuf.
ACHMAD HAMUDI ASSEGAF | DA