TEMPO.CO, Jakarta -Pengurus Serikat Pekerja TransJakarta (SPT) didampingi oleh kuasa hukum mereka Azas Tigor Nainggolan hari ini, Kamis, 3 September 2020 menceritakan tentang kronologi PHK yang mereka alami pada Senin, 31 Agustus 2020.
Diketahui pada hari yang sama, mereka melaporkan Dirut PT. Transportasi Jakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo ke Polda Metro Jaya atas dasar upah lembur libur nasional yang tidak dibayarkan selama 4 tahun.
“Surat PHK kami terima lewat WhatsApp Senin sore, itu pun janggal karena tidak ada kop suratnya. Malamnya kami dikirimi surat tersebut lewat kurir, diminta tanda tangan sambil foto,” kata Joko Pitono, Ketua Umum SPT saat konferensi pers.
Dia menyayangkan sikap tersebut, yang menurutnya menunjukkan manajemen yang tidak bersikap profesional dalam melakukan PHK.
“Seharusnya kan diundang baik-baik ke kantor, bertemu muka, seperti itu,” menurutnya. Bergantian dengan Muslihan Aulia Haris dan Ahmad Firdaus selaku divisi hukum dan hubungan masyarakat SPT, Joko menceritakan tentang perkara yang bermula dari upah lembur libur nasional sepanjang tahun 2015 hingga 2019.
Tentang pernyataan Jhony pada Rabu, 2 September 2020 yang mengatakan sudah menurunkan SK Direksi terkait hal tersebut pada akhir 2019, Firdaus mengatakan bahwa yang dikeluarkan adalah insentif dan bukan upah. “Jadi kesannya kami dapat bonus, padahal harusnya upah adalah hak normatif,” kata Ahmad. Ia menambahkan bahwa SK tersebut turun bukan atas dasar inisiatif direksi, melainkan tuntutan pekerja.
Perihal Jhony yang mengatakan pemecatan adalah karena dasar pelanggaran berat, Muslihan mengatakan hal ini adalah berdasarkan manajemen yang menskorsing 8 pengurus SPT dengan Pasal Pelanggaran Berat setelah berdemo di depan Kementerian Ketenagakerjaan RI pada 29 Juli 2020 lalu. Ia mempertanyakan keputusan ini, menurutnya karena berpendapat di muka umum adalah hak yang tidak membutuhkan izin perusahaan.
Soal keputusan mereka untuk menggugat sekarang dan tidak pada tahun-tahun sebelumnya, Muslihan menilai hal ini dilandasi pengetahuan yang dikumpulkan selama pengalaman mereka berserikat. “Tahun 2015 Transjakarta itu baru mulai berbentuk PT. Sejak itu sampai sekarang kami belajar tentang manajemen, kemudian sekarang berani menuntut atas hak-hak kami,” menurutnya.
Muslihan, Ahmad dan Joko mengatakan bahwa mereka pada dasarnya menerima dan menghormati keputusan PHK, meskipun menyayangkan hal tersebut terjadi tanpa ada dasar dan prosedur yang jelas. Hal ini diamini oleh Tigor, yang menjelaskan tidak adanya Surat Peringatan (SP) 1, 2 dan 3 sebelum dikeluarkannya surat PHK oleh manajemen.
“Menurut saya ini kesalahan manajemen, makanya kami disini malah ingin mengingatkan Pak Dirut Transjakarta, siapa tahu di dalam manajemennya ada yang tidak baik,” kata Tigor sembari menutup konferensi pers.
WINTANG WARASTRI l DA