TEMPO.CO, Jakarta -Anggota DPRD DKI Jakarta, Syarif, berpendapat pemerintah DKI tak mungkin menerapkan kebijakan rem darurat meski pasien positif Covid-19 kian meningkat.
Sebab, menurut dia, belum ada faktor pendukung yang bisa menopang dampak dari penghentian PSBB transisi.
"Pandangan saya kalau (perpanjangan) PSBB transisi yang ketiga itu masih mungkin dilakukan. Maksudnya adalah ketika itu faktor-faktor pendukungnya masih ada," kata dia saat dihubungi, Sabtu, 5 September 2020.
Dia berujar ada dua faktor pendukung, yakni ekonomi dan psikososial masyarakat. Dari segi ekonomi, dia menilai, tidak memungkinkan Jakarta untuk kembali ke masa PSBB. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Ibu Kota pada Triwulan II 2020 (year-on-year) terkontraksi minus 8,22 persen.
Baca juga : Satpol PP Jaring 139.201 Orang TIdak Bermasker Selama PSBB Transisi Jakarta
Politikus Partai Gerindra ini menganalogikan dengan mengerem mobil yang tengah melaju cepat. Dalam kondisi tersebut, pengemudi harus memperhatikan penumpang telah memakai sabuk pengaman dan tertib sebelum rem diinjak.
Jika salah perhitungan, maka seluruh penumpang bisa jungkir balik. Rem darurat justru jadi malapetaka.
"Rem darurat kan pengertiannya kalau dilakukan benar, maka tidak ada kecelakaan kan. Kalau dilakukan sembarangan, maka ada kecelakaan," ucap dia. "Rem darurat kan menimbulkan dua kemungkinan, bisa menyelamatkan para penumpangnya, bisa juga menjungkirbalikkan penumpang."
Pemerintah DKI tak kunjung memperketat PSBB meski jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah. Total kasus positif per 5 September mencapai 45.446. Ada tambahan 842 kasus baru hari ini. Sementara persentase pasien positif atau positivity rate di Jakarta dalam sepekan terakhir menyentuh 13,1 persen
Gubernur DKI Anies Baswedan justru terus memperpanjang PSBB transisi. PSBB transisi dimulai 5 Juni 2020. Kali ini sudah memasuki perpanjangan kelima PSBB transisi fase I yang berlaku 28 Agustus-10 September.