TEMPO.CO, Jakarta -Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta mengingatkan Pemerintah DKI untuk tidak mengulangi kesalahan saat PSBB transisi pada PSBB ketat yang akan dimulai pada Senin 14 September 2020 mendatang.
"Saya melihat bahwa langkah penarikan atau penerapan kebijakan rem darurat masih memerlukan beberapa perbaikan agar tidak mengulangi kesalahan kesalahan PSBB transisi yang hasilnya PSBB," ujar ketu Fraksi PSI Ahmad Idris saat dihubungi, Kamis 10 September 2020.
Idris mengatakan Pemprov DKI harus meningkatkan pengawasan selama PSBB ketat serta membuat sanksi yang tegas dengan penindakan yang tegas.
Diantaranya dengan melaksanakan aturan sanksi progresif, di Pergub No. 79 Tahun 2020. Menurut dia sanksi tersebut terbukti efektif, dengan nominal dendanya membuat masyarakat kapok dan shock therapy pada razia-razia yang dilakukan Satpol PP.
Namun, kata Idris penerapan sanksi tersebut masih belum optimal karena alat pendukung sanksi progresif, yakni aplikasi pencatatan Jak-APD bagi Satpol PP, sampai saat ini belum keluar. Akibatnya, Satpol PP belum dapat menerapkan bagian iprogresifi dari pergub 79 itu.
Baca juga : Anies Terapkan Lagi PSBB Ketat, Kantor Dilaran Buka Mulai Senin Pekan Depan
"Pencatatan juga masih dilakukan secara manual. Terakhir, razia dan penindakan masih terfokus pada jalan protokol, belum menyentuh jalanan kampung di mana justru terjadi banyak pelanggaran," katanya.
Idris menambahkan Pemprov DKI juga terlihat sangat enggan untuk mengeluarkan sanksi pidana, yang termaktub pada Pergub No. 41 Tahun 2020. Perlu kerjasama yang erat antara pihak kepolisian dengan pihak Pemprov DKI untuk membentuk kebiasaan baru di masyarakat.
Selain itu kata Idris, Pemerintah DKI juga harus menyusun indikator yang jelas terkait rem darurat Covid-19, karena sejak awal Agustus kondisi penularan Covid-19 di Jakarta sudah mengkhawatirkan namun Pemerintah DKI tak kunjung mengeluarkan kebijakan rem darurat.
Padahal dalam Pergub 80 telah diatur terkait penarikan masa transisi ketika terjadi penambahan kasus secara signifikan.
"Jika saja Gubernur Anies memperhatikan indikator medis, maka sebenarnya DKI Jakarta sudah bisa diprediksi akan memasuki keadaan darurat sejak awal Agustus lalu. Namun Pemprov DKI malah mengeluarkan kebijakan yang tidak efektif dan plin-plan. Contohnya, kebijakan ganjil genap dan CFD," katanya.