TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menganggap pengetatan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar Sosial atau PSBB di Jakarta tidak efektif. Sebab, pemerintah tidak menetapkan PSBB total, melainkan kompromi.
"Karena ini dosis kompromi jadi tidak akan efektif. Itu sudah jelas tidak akan efektif," kata dia saat dihubungi, Rabu, 16 September 2020.
Yang dimaksudnya dengan PSBB dosis kompromi adalah karyawan seharusnya tidak bekerja di kantor selama dua pekan. Namun, pemerintah DKI justru menetapkan seluruh perkantoran masih diperbolehkan beroperasi dengan maksimal jumlah orang 25 persen dari kapasitas.
Menurut Dicky, pemerintah DKI seharusnya memberlakukan PSBB berdosis total, yaitu 100 persen karyawan bekerja di rumah. Kecuali, bagi sektor esensial yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti rumah sakit. "Dosisnya tidak optimal, karena komprominya ekonomi, politik, sosial."
Jakarta memperketat PSBB mulai 14 September karena jumlah pasien Covid-19 terus menanjak. Penambahan kasus baru lebih dari 1000 per hari.
Pengetatan berimbas pada penutupan kembali tempat rekreasi, jumlah orang di kantor maksimal 25 persen dari kapasitas, ganjil genap tak berlaku, pembatasan penumpang transportasi publik, dan lainnya.
Ketentuan ini berbeda dengan rencana menutup lagi semua aktivitas perkantoran, kecuali 11 sektor esensial setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.