TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan ada tiga indikator untuk mengukur efektivitas Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Indikator pertama adalah waktu. Menurut dia, penetapan PSBB tidak boleh terlambat, tapi juga jangan terlalu cepat.
"Karena dua-duanya tidak bagus dari sisi kerugian sosial ekonomi dan juga efektivitasnya," kata dia saat dihubungi, Rabu, 16 September 2020.
Baca Juga: Viral Pengemudi Mobil Seorang Diri Didenda karena Lepas Masker
Jika terlambat, Dicky memperkirakan tingkat kematian pasien dan beban rumah sakit akan semakin tinggi. Pemerintah DKI yang memilih memperketat lagi PSBB mulai 14 September 2020 dinilai tepat.
Indikator kedua, dosis PSBB. Ada tiga dosis, yaitu total, transisi, atau kompromi. PSBB DKI saat ini, dia melanjutkan, berjalan dengan takaran kompromi. Sebab, perkantoran masih diizinkan beroperasi dengan jumlah orang maksimal 25 persen dari kapasitas.
Dicky menuturkan, pemerintah DKI seharusnya menetapkan PSBB total dengan kebijakan 100 persen karyawan bekerja dari rumah. Namun, PSBB yang sama juga harus diikuti daerah penyangga.
"Tentu yang bagus itu dosis total. Masa minum obat seharusnya 500 mg cuma 250," jelas dia.
Ketiga, durasi minum obat, dalam konteks ini lamanya PSBB diberlakukan. Dia menilai, PSBB harus berjalan minimal sebulan. Dengan waktu hanya dua minggu tidak akan menyembuhkan pandemi Covid-19.
"Tidak akan mengurangi gejala yang sudah serius seperti ini," ujarnya. "Rumus saya ini bisa diterapkan di semua daerah, tidak cuma Jakarta."
Jakarta resmi memperketat PSBB mulai 14 September 2020. Sebab, jumlah pasien Covid-19 terus menanjak, bahkan per hari bisa ada tambahan lebih dari seribu kasus baru.
Pengetatan berimbas pada penutupan kembali tempat rekreasi, jumlah orang di kantor maksimal 25 persen dari kapasitas, ganjil genap tak berlaku, pembatasan di transportasi publik, dan lainnya.