TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya akan mengecek rekaman CCTV Bandara Soekarno-Hatta untuk mencari korban lain kasus pelecehan dan penipuan rapid test oleh Eko Firstson Yuswardinata.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyatakan pengecekan itu akan dilakukan dengan memeriksa rekaman selama tiga bulan ke belakang.
"Karena yang bersangkutan bekerja sebagai tenaga medis rapid test di Bandara Soekarno-Hatta sejak bulan Juli. Sehingga kami mundur 3 bulan ke belakang mengecek CCTV yang ada," kata Yusri Yunus di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, 29 September 2020.
Sampai saat ini, Polda Metro Jaya belum menerima laporan atau menemukan korban pencabulan Eko Firstson yang lain. Yusri meminta korban yang pernah mendapat perlakuan tidak pantas dari Eko agar lapor ke polisi.
"Saya mengimbau kalau memang ada korban lain, silakan melaporkan ke Polres Bandara Soetta untuk masalah ini, kami akan tindak lanjuti," kata Yusri.
Baca juga: Tersangka Pencabulan Rapid Test di Bandara Jalani Tes Kejiwaan
Setelah sempat melarikan diri, Eko ditangkap polisi pada Jumat, 25 September 2020 di Balige, Samosir Toba, Sumatera Utara. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan dan pelecehan terhadap penumpang di Bandara Soekarno-Hatta saat rapid test. Ia diciduk di sebuah kamar indekos bersama istri dan anaknya.
Polisi menjerat Eko dengan pasal berlapis. Kasat Reskrim Polres Bandara Soetta Komisaris Alexander Yurikho mengatakan tersangka dijerat pasal 289 KUHPidana dan atau 294 KUHPidana tentang asusila dan perbuatan cabul, dan atau 368 KUHPidana tentang ancaman disertai kekerasan dan atau 378 KUHPidana tentang penipuan.
"Dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara," ujar Alex.
Pengenaan pasal penipuan dan pelecehan seksual kepada tersangka itu, menurut Yurikho, berdasarkan fakta hukum dan alat bukti yang didapatkan dari proses penyidikan. Yurikho mengakui alat bukti diantaranya bukti transfer uang dan rekaman CCTV.
Terkait apakah Eko merupakan seorang dokter atau bukan, Yurikho mengatakan penyidik sedang mengkonfirmasi hal itu ke PT Kimia Farma, tempat tersangka bekerja dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kasus ini viral setelah korban Eko, LHI, menceritakan kronologi pelecehan seksual dan pemerasan yang dialaminya saat menjalani rapid test di Bandara Soekarno-Hatta. Eko menyebut hasil tes cepat LHI reaktif, dan menawarkan jasa untuk mengubah hasil rapid test itu menjadi nonreaktif. Padahal tes ulang yang dilakukan LHI di Nias menunjukkan nonreaktif.