TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Resor Kota Tangerang Komisaris Besar Ade Ary Syam memaparkan hasil pemeriksaan kejiwaan terhadap pelaku pencoret Musala Darussalam, Satrio Katon Nugroho.
"Tersangka menyesali perbuatannya. Namun sulit untuk mengendalikan emosi," kata Ade kepada Tempo, Jumat, 2 Oktober 2020.
Ade mengatakan, Satrio mengatakan apa yang dilakukan itu merupakan pelampiasan kekesalan terhadap orang-orang di sekitarnya. "Yang mengucilkan dan menghindarinya," ujar Ade.
Ade menambahkan, Satrio sudah mengeluh susah tidur sejak duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dia juga selalu punya dorongan untuk melakukan kekerasan dan perkelahian.
"Dan dia ingin mengubahnya dengan ibadah," kata Ade.
Satrio mencorat-coret Musala Darussalam, Villa Tangerang Elok, Kuta Jaya, Pasar Kemis, Tangerang pada Selasa, 29 September 2020. Kondisi musala pasca dicoret oleh Satrio viral di media sosial. Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat dinding musala dicoret dengan tulisan seperti 'Anti Khilafah', 'Anti Islam', 'Islam Tidak Diridhoi'. Sementara pada papan tulis musala, terdapat tulisan berupa 'Saya Kafir'.
Coretan lain terlihat di lantai musala, seperti tulisan 'Allah' dalam aksara Arab yang diberikan tanda silang. Kemudian pada tempat imam salat, terlihat sebuah Alquran ditempeli selotip dan diberikan tanda silang. Seluruh coretan di musala itu tampak bewarna hitam.
Ade berujar, hasil pemeriksaan saksi-saksi, termasuk orang tuanya, menunjukkan bahwa Satrio mengalami perubahan sikap sejak bulan Ramadan tahun ini. Dia cenderung menyendiri dan salat di rumah. Sebelumnya, kata Ade, Satrio rajin beribadah di Musala Darussalam.
"Orang tuanya kemudian tidak memperbolehkan dia keluar rumah sendirian," kata Ade.
Dengan adanya perubahan sikap tersebut, kata Ade, orang tua Satrio telah melakukan berbagai upaya demi menyembuhkan anaknya. Salah satunya, berkomunikasi dengan psikolog dan menjalani hipnoterapi.
"Pernah dirukiah juga," kata Ade.
Ade mengatakan, Satrio telah ditetapkan sebagai tersangka. Mahasiswa psikologi universitas swasta di Jakarta dijerat dengan Pasal 156 a dan Pasal 406 KUHP.