“Mohon maaf pak Menteri saya harus berpandangan karena tadi bapak menyampaikan. Jadi, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya,” kata Anies
Contohnya, kata Anies, normalisasi di Kampung Melayu pada Maret 2019 yang tidak berdampak apa-apa. Menurut dia, mengendalikan limpahan air dari selatan bisa dilakukan dengan membangun bendungan.
“Kami bersyukur bahwa sekarang Kementerian PUPR sedang menyelesaikan dua bendungan. Dan kalau dua bendungan itu selesai, maka volume air yang masuk ke pesisir bisa dikendalikan. Kalau bisa dikendalikan, insyaallah bisa dikendalikan,” kata Anies di lokasi yang sama.
Seorang bapak sambil menggendong anaknya melintasi banjir yang melanda kawasan permukiman di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin, 5 Oktober 2020. Banjir tersebut terjadi akibat meluapnya Kali Krukut. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Selain itu, perbedaan konsep penataan kali antara pusat dan DKI juga membuat kebijakan pemerintah untuk menanggulangi banjir terhenti. Hingga saat ini proses naturalisasi maupun normalisasi belum kembali berjalan. Padahal Pemerintah DKI dan pusat perlu mengharmonisasikan kebijakan dan segera merelokasi warga di pinggir kali ke rumah susun yang telah disiapkannya.
"Kalau kebijakan ini tidak berjalan maka warga yang berada di pinggir kali akan selamanya terkena banjir," ujarnya.
Kebijakan lain yang menunjukkan ketidakharmonisan antara DKI dan pemerintah pusat adalah soal reklamasi. Menurut Nirwono, Anies ingin menghentikan pembuatan pulau palsu di Teluk Jakarta, sementara Kementerian Koordinasi Maritim ingin tetap melanjutkan. "Buktinya keluar Perpres 60/2020 tentang rencana tata ruang Jabodetabekpunjur."
Ketidakharmonisan semakin tidak terlihat saat pandemi Covid-19 melanda. Pemerintah DKI ingin melakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB total, sementara pusat melarangnya.
IMAM HAMDI | FIKRI ARIGI