TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyatakan ada pola baru dalam penanganan demonstrasi oleh polisi di tahun 2020. Pola ini baru, setidaknya dibandingkan dengan penanganan May Day, unjuk rasa 21-22 Mei, dan #ReformasiDikorupsi pada 2019.
"Kami menemukan ada legitimasi dari atasan kepolisian untuk melakukan penanganan atau penindakan hukum secara subyektif," ujar Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar kepada Tempo pada Jumat lalu, 16 Oktober 2020. Terutama, terhadap agenda-agenda yang berkaitan dengan kebijakan negara yang lebih luas.
Legitimasi itu pertama terlihat dari terbitnya surat telegram dari Mabes Polri tentang penanganan Covid-19. Surat telegram nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tanggal 4 April 2020 itu ditandatangani Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
"Ada pasal penghinaan presiden atau penguasa dan sebagainya," kata Rivanlee. Dengan surat telegram itu, Mabes Polri menggencarkan patroli siber.
Setidaknya, ada tiga hal yang dipantau dalam patroli siber, yaitu berita bohong atau hoaks tentang virus Corona, penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah, dan praktik penipuan penjualan alat-alat kesehatan secara daring.
Penyebaran hoaks Corona dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19 diancam dengan Pasal 14 dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah dikenakan Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penipu penjualan alat-alat kesehatan secara daring, dijerat melalui Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Legitimasi kedua di tahun ini, kata Rivanlee, adalah munculnya surat telegram tentang Omnibus Law UUndang Cipta Kerja. Dalam telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, Kapolri Jenderal Idham Aziz memberi beberapa instruksi mengenai rencana demonstrasi dan mogok nasional kelompok buruh dan masyarakat sipil lain yang menolak UU Cipta Kerja.
Instruksi itu meliputi melaksanakan fungsi intelijen dan deteksi dini; mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19; patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi.
"Sebelumnya, surat-surat telegram itu tidak ada pada 2019."
Rivanlee mengatakan polisi sebenarnya masih punya 'pekerjaan rumah' penanganan aksi massa di tahun 2019. Evaluasi itu berupa tidak adanya indikator yang jelas dalam penindakan terhadap massa aksi. Contohnya seperti ukuran proporsionalitas, tindakan kebutuhan mendesak, legalitas, dan prinsip-prinsip yang ada di undang-undang yang berlaku.
"Polisi tidak menjalankan evaluasi (penanganan aksi massa) sebelum adanya surat telegram, tapi sudah memunculkan pola baru dengan melegitimasi penindakan secara subyektif," kata Rivanlee.