TEMPO.CO, Jakarta -Ahli hidrologi Firdaus Ali menjelaskan bahwa normalisasi sungai pada dasarnya berfungsi untuk pengendalian banjir (flood control).
Berbeda dengan konsep naturalisasi sungai yang menurutnya ditujukan untuk fungsi estetika.
“Sementara yang namanya naturalisasi di kota itu adalah untuk estetika, keindahan, agar apartemennya jadi mahal, biar orang punya tempat kuliner yang indah, seperti yang di Kallang River di Singapura, seperti Cheonggyecheon di Seoul. Bukan untuk pengendali banjir,” ujar Firdaus kepada wartawan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, pada Senin, 19 Oktober 2020.
Baca juga : Normalisasi Sungai, 25 KK di Bantaran Kali Rawa Rengas Dipindah ke Rusun
Sebelumnya, dalam rapat bersama panitia khusus penanganan banjir (Pansus Banjir) DPRD DKI dan Kepala Dinas Sumber Daya Air itu Firdaus sempat menyinggung narasi Gubernur Anies Baswedan tentang naturalisasi sungai sebagai konsep penanganan banjir. Menurutnya, narasi Anies itu merupakan penyesatan.
“(Kata Anies) melawan sunnatullah kalau air laut dialirkam gorong-gorong le laut. Karena yang desain gorong-gorong salah satunya saya. Dihadirkan narasi baru, naturalisasi, saya lihat rekaman YouTube. Ini penyesatan,” ujarnya saat rapat.
Pria yang juga menjabat Staf Khusus Menteri PUPR itu menjelaskan bahwa pemerintah pusat telah menjamin proses fisik kontruksi dalam normalisasi sungai untuk penanganan banjir di DKI Jakarta. Namun, kata dia, pembebasan lahan tak kunjung dilakukan, sementara hal merupakan tanggung jawab Pemprov DKI, bukan pemerintah pusat.
“Tetapi untuk memindahkan warga, membebaskan lahan itu kan sudah disepakati, tanggung jawabnya pemerintah DKI Jakarta. Kan ditandatangani, disepakati, lalu kemudian ketika berganti pimpinan, pimpinan merasa tidak perlu membebaskan lahan, ya kami pemerintah pusat kan nggak bisa memaksa. Kami nggak bisa memaksa,” ujarnya.
Saat rapat, ia juga sempat mengkritik Pemprov DKI terkait pembebasan lahan untuk normalisasi sungai yang tak kunjung dilakukan. Ia mempertanyakan niat Pemprov DKI karena menurutnya tidak kunjung mengambil langkah-langkah signifikan dalam penanganan banjir walaupun punya anggaran dan kapasitas fiskal yang besar.
“Kenapa saya salahkan DKI? Kapasitas fiskal yang dimiliki DKI itu melebihi yang dimiliki oleh termasuk Kementerian PUPR untuk Dirjen SDA sekalipun. Tapi kalau kemudian DKI tidak bergerak hanya untuk membebaskan lahan yang totalnya 40,67 hektare, saya nggak punya jawaban. Tanya ke gubernurnya,” ujar Firdaus.
Ia pun mendorong DPRD agar mendesak Pemprov DKI untuk segera melaksanakan tugas dan rencananya dalam penanganan banjir, sekaligus memberikan hukuman berupa penangguhan anggaran di tahun selanjutnya jika tugas teresebut tidak terlaksana.
“Saya minta mereka dengan kapasitas fiskal yang mereka miliki, mereka harus tekan. Kalau nggak dikerjain, tahun depan jangan dikasih budget, simpel kan. Harus ada punishment, dong, orang nggak mengerjakam tugasnya begitu. Dibandingkan hanya sibuk berpolemik, bernarasi, begitu kan,” ujar Firdaus Ali kepada wartawan usai rapat.
ACHMAD HAMUDI ASSEGAF l DA