TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Seksi Operasional Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat Syamsul Mirwan mengatakan garis kejut di badan jalan bukan satu-satunya solusi untuk mencegah balap liar. Ada aspek lain yang harus dilihat yakni pengamanan dan penindakan dari polisi, serta fungsi binaan masyarakat setempat. “Juga (peran) kelurahan atau kecamatan," kata Syamsul saat dihubungi, di Jakarta, Sabtu, 24 Oktober 2020.
Syamsul menyampaikan hal itu menanggapi belum dibuatnya garis kejut yang diajukan oleh Kelurahan Gunung Sahari Utara di Jalan Gunung Sahari IX untuk mencegah balapan liar yang marak sejak dua tahun terakhir.
Syamsul mencontohkan sudah ada garis kejut di kawasan Medan Merdeka Utara, Medan Merdeka Selatan, dan Medan Merdeka Barat. Namun tetap saja setiap Sabtu malam pebalap motor liar beraksi.
"Jadi, tidak bisa jadi solusi utama.” Menurut dia, tetap harus ada penindakan dari aparat kepolisian. Seperti yang dilakukan Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat dan kepolisian di Jalan Medan Merdeka Barat, Utara, dan Selatan akhirnya tiap malam Sabtu dan Ahad.
Pengamanan dan pembinaan juga turut berperan penting agar tidak ada lagi balapan motor liar yang mengganggu warga, khususnya pengguna jalan lainnya. RT dan RW bisa mendata masyarakat setempat. “Lurah dan Camat jangan lempar badan, mereka juga harus membina masyarakat."
Lurah Gunung Sahari Utara Yanti mengatakan pihaknya telah mengajukan pembuatan garis kejut sebanyak dua kali dalam dua tahun terakhir untuk mencegah balap liar. Namun permintaan itu hingga kini belum ditanggapi.
Suku Dinas berjanji akan membahas permohonan garis kejut dari salah satu kelurahan di Kecamatan Sawah Besar mulai pekan depan.
Dini hari Jumat, 23 Oktober 2020, terjadi bentrokan antar kelompok di Jalan Gunung Sahari IX, Sawah Besar, Jakarta Pusat yang dipicu balap liar. Tempat usaha di sekitarnya turut menanggung kerusakan.
Warga RW 004 Gunung Sahari Utara kerap mengeluh karena balap liar di Jalan Gunung Sahari IX mengganggu warga beristirahat.