TEMPO.CO, Jakarta - Selama satu pekan ini Jakarta masih diwarnai demo penolakan omnibus law UU Cipta Kerja, terutama pada momen Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020. Namun di antara demo yang riuh di beberapa titik Jakarta itu ada pula demo yang menuntut Gubernur DKI Anies Baswedan untuk turun dari jabatannya.
Massa yang menamakan diri Gerakan Jaga Indonesia itu mendatangi Balai Kota. "Kami menuntut Anies turun dari jabatannya karena tidak mensejahterakan rakyat," kata Sekretaris Gerakan Jaga Indonesia DKI Aldi Nababan.
Menurut dia, kebijakan Anies juga kerap bertentangan dengan pemerintah pusat. Saat unjuk rasa besar-besaran menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang ingin dicegah pamerintah, justru Anies hadir di tengah massa. "Anies masuk ke tengah-tengah pertempuran. Bahkan anak-anak yang harusnya sekolah dibolehkan demo," ujarnya.
Selain itu, selama masa unjuk rasa ini Anies terkesan mendukung gerakan massa yang melakukan aksi di tengah pandemi Covid-19. Kebijakan lain Anies yang juga menyusahkan warga adalah penyelenggaraan Formula E dan penanganan banjir yang tidak pernah selesai. "Kami akan terus demo sampai Anies lengser. Tuntutan kami tetap Anies turun dan diadili."
Para pendemo tampak membawa poster dengan cetakan yang rapi. Anies dalam spanduk itu ditulis mbalelo dengan pemerintah pusat.
Menanggapi demo itu, anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta, Syarif, menganggap tuntutan pengunjuk rasa yang meminta Gubernur DKI Anies Baswedan mundur dari jabatannya tidak rasional. Dia pun heran karena tuntutan massa tidak merepresentasikan keresahan siapa pun.
"Karena tidak punya dua pijakan itu, maka kami bertanya ukurannya apa untuk menilai Anies itu tidak bisa mensejahterakan masyarakat?" kata dia saat dihubungi, Rabu, 28 Oktober 2020. "Tuntutan itu tidak rasional."