TEMPO.CO, Jakarta - Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menjelaskan isi buku How Democracies Die, buku yang diunggah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama foto dirinya di akun media sosial pada 22 November 2020. Menurut Arif, buku bersampul hitam ini tentang demokrasi yang terancam mati.
Konteks tulisan buku mengacu pada terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. "Tapi tidak semata-mata membahas Amerika Serikat," kata dia saat dihubungi, Senin, 23 November 2020.
Biasanya, ujar Arif, demokrasi runtuh lantaran kudeta oleh militer. Hal ini seperti dialami oleh tiga dari empat rezim demokrasi yang berakhir karena kudeta. Dia mencontohkan politikus Partai Sosialis, Salvador Allende yang terpilih sebagai presiden Chile pada 1970 melalui proses demokrasi. Namun, militer Chile melakukan kudeta pada 1973.
Arif memaparkan, kedua penulis How Democracies Die menyuguhkan pandangan berbeda. Kedua penulis, Daniel Ziblatt and Steven Levitsky menunjukkan fenomena terkini bahwa, demokrasi bisa berakhir tidak dengan cara runtuh.
“Demokrasi bisa juga runtuh pelan-pelan." Fenomena ini disebut Ziblatt dan Levitsky dengan baby step.
Pelakunya tak harus militer, melainkan pemimpin negara yang terpilih lewat pemilihan umum atau pemilu. Tapi, kejadian ini bukanlah fenomena baru. Contohnya, terpilihnya Adolf Hitler sebagai kanselir Jerman melalui pemilu. Hitler mewakili Partai Buruh Nasional Sosialis Jerman atau populer dengan sebutan Partai Nazi.
"Setidaknya kita bisa menafsirkan bahwa pemerintahan bengis Hitler yang menghancurkan tatanan itu sedikit banyak lahir dari pemilu yang pemilih itu banyak dijadikan sebagai referensi untuk melihat sebuah negara demokratis atau tidak," kata Arif.
Arif merangkum tiga pemikiran Ziblatt dan Levitsky. Pertama, ancaman terhadap demokrasi bisa berasal dari sebuah pemerintahan yang terpilih lewat pemilu. Kedua, demokrasi terancam pelan-pelan, salah satunya dengan menghalangi kebebasan.
Ketiga, demokrasi berpeluang melahirkan demagog atau pemimpin yang berlagak memihak kepada rakyat (populis), tapi justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Sehingga, masyarakat terpolarisasi, dalam bahasa mudah diadu domba. “Mirip dengan di Indonesia dalam dua pemilu terakhir."
Bukan tidak mungkin masyarakat jadi akan skeptis terhadap pemilu dan demokrasi lalu memilih jalan otoriter yang dianggap efektif untuk menyembuhkan defect itu."
Penulis menyodorkan analisis bahwa demokrasi Amerika Serikat bisa-bisa semakin terpuruk jika Trump kembali terpilih duduk di Gedung Putih. Arif mengatakan, penulis mencoba mendorong agar skenario ini tak terjadi.