TEMPO.CO, Jakarta -Sekretaris Umum Front Pembela Islam atau FPI Munarman menganggap negara tampak arogan karena memanfaatkan instrumen hukum untuk menjerat kelompok tertentu.
Dia menyebutnya sebagai arogansi kekuasaan yang harus dihentikan.
"Tidak layak sebuah negara mengandalkan hukum untuk mematikan aspirasi masyarakatnya," kata dia dalam Dialog Nasional 100 Ulama dan Tokoh sebagai pengganti Reuni 212 yang disiarkan virtual, Rabu, 2 Desember 2020.
Baca juga : Polda Metro Jaya Ancam Tindak Tegas Pengadangan di Petamburan
Menurut dia, sikap penguasa yang seperti ini justru semakin membangun ketimpangan sosial dari sisi penegakan hukum. Padahal, lanjut dia, negara hukum yang berkeadilan seharusnya adil terhadap semua kelompok dan golongan.
Munarman punya tiga alasan yang memperkuat penilaiannya soal arogansi kekuasaan. Pertama, pemerintah memperkarakan satu kelompok yang menggelar acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan, Jakarta Pusat.
Dia tak menyebut kelompok yang dimaksud. Namun, polisi menduga adanya pelanggaran hukum atas kerumunan yang terjadi saat acara Maulid Nabi di kediaman Rizieq Shihab, Petamburan III pada Sabtu, 14 November 2020.
"Tidak bisa ada satu kelompok yang karena mengajak acara Maulid, tapi jsutru dikriminalisasi," ujar dia.
Kedua, pemerintah memaksa satu orang untuk menjalani tes swab. Sementara itu, dia menuturkan, banyak warga yang memerlukan tes swab.
Ketiga, polisi menyelidiki sekelompok masyarakat yang sedang mendengarkan azan lalu meneriakan hayya alajihad. Kata itu diucapkan sang muazin dan disambut jamaah lain dengan menirukan ucapan serupa sambil mengepalkan tangan. Arti hayya alajihad adalah marilah kita jihad.
"Tapi kemudian kelompok masyarakat ini sekarang sudah dipanggil-panggil di seluruh kantor polisi di Indonesia," ucapnya.
"Karena itu kami minta hentikan segera arogansi kekuasaan dengan memperalat instrumen hukum."