TEMPO.CO, Jakarta- Tim panelis debat kandidat calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok menyebut debat terbuka yang dijalani oleh para pasangan calon atau paslon pada 30 November 2020 terasa hambar. Mereka menganggap kedua paslon sibuk membaca teks yang dipersiapkan dalam panggung debat. Tim panelis pun mempertanyakan hal tersebut.
Baca Juga: Mohammad Idris Positif Covid-19, Imam Siap Tampil di Debat Pilkada Depok 2020
“Apakah soal yang dibuat panelis sudah lebih dulu bocor, sehingga kedua kandidat bisa menyiapkan jawaban dan membacakannya?” ujar tim panelis yang terdiri dari peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkyansyah, akademisi perbankan dan Rektor Perbanas Institute Hermanto Siregar, sejarawan JJ Rizal, peneliti Universitas Indonesia Reni Candriachsya Suwarso, dan ketua IDI Depok Sukwanto Gamalyono dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 4 Desember 2020.
Mereka menyebut bahwa panelis tak pernah membocorkan pertanyaan ke pada paslon. Para panelis hanya memberi kisi-kisi materi debat ke Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) Depok untuk diteruskan kepada kedua kandidat. “Selain panelis menjadi malu seolah kerahasiaan pertanyaan sudah tidak ada lagi, panelis pun merasa jika hal semacam itu terjadi publik dapat menarik kesimpulan bahwa debat kandidat tidak lagi menjadi panggung intelektual,” tulis para panelis.
Mereka menganggap para kandidat akhirnya kurang memiliki wawasan dan kematangan berpikir. Panelis merasa ajang debat terbuka tak menjadi saluran yang baik bagi para paslon untuk berbicara kepada calon pemilihnya di Depok. Ajang debat, menurut mereka, masih berkutat di ranah mengajak memilih nomor satu atau nomor dua. “Tapi tersendat-sendat dan lupa mengadu gagasan program, rekam jejak, cara pandang kandidat untuk memimpin Depok yang bisa diukur dan mempengaruhi pemilih.”
Meski kedua paslon merupakan petahana, panelis merasa debat akan tetap menarik jika dapat saling mengkritisi prestasi maupun kekurangan lawannya saat memimpin. Para panelis juga menyayangkan dalam debat ada kandidat yang menggunakan kesempatan bertanya untuk membuat semacam jebakan dengan memanfaatkan aneka akronim di sekitar urusan pemerintahan.
Tujuannya, kata panelis, untuk mengejek dan menjadikannya bulan-bulanan jika penjawab tak tau. “Ini konyol dan tidak mendidik. Sebab debat sejatinya adalah forum intelektual yang diharapkan untuk mengupas hal yang substansial, bukan artifisial,” tulis para panelis. Mereka pun berharap debat terbuka ke depannya dapat menjadi sarana untuk menggali ide dan gagasan, menyajikan data, dan memberikan solusi untuk masyarakat.