TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono meragukan efektivitas pengetatan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di DKI Jakarta dan sekitarnya. Menurut epidemiolog itu, pengetatan PSBB selama 2 pekan ke depan tidak bakal berdampak signifikan dalam menurunkan penularan Covid-19.
Alasannya, pemerintah masih membolehkan kegiatan sektor usaha sebanyak 25 persen selama masa pengetatan PSBB atau PPKM 11-24 Januari 2021.
"Pengetatannya saya lihat masih setengah-setengah. Belum tentu ditaati semua sektor usaha kapasitas 25 persen yang sekarang," kata Tri saat dihubungi, Senin, 11 Januari 2021.
Tri menyebut pengetatan PSBB yang dilakukan pemerintah pusat di Jawa dan Bali setengah hati karena masih terus mementingkan perekonomian. Padahal selama wabah Covid-19 tidak bisa dikendalikan, keadaan perekonomian tidak akan membaik.
"Memang dengan pengetatan pembatasan sosial ini akan berdampak terhadap ekonomi. Tapi kalau tidak diketatkan dengan serius, pandemi ini tidak akan pernah selesai dan cenderung akan terus meningkat dan sudah terbukti angkanya terus naik," ujarnya.
Epidemiolog itu mengatakan dalam pengetatan PSBB kali ini pemerintah pasti bakal memberikan kelonggaran sektor nonesensial seperti pabrik untuk beroperasi dengan kapasitas 75-100 persen. Padahal bukti klaster penularan di pabrik sudah ada. "Kebijakan pengetatan sekarang tidak mungkin efektif kalau masih setengah-setengah," ucapnya.
Baca juga: Anies Baswedan Terapkan PSBB Ketat, Ini Aturan untuk Ojek dan Taksi Online
Dampak pengetatan PSBB yang setengah-setengah ini telah dibuktikan dengan keterisian rumah sakit di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, yang penuh dengan pasien Covid-19. Jika situasi ini tidak ditangani dengan serius, Tri memperkirakan seluruh rumah sakit akan kolaps pada Februari atau Maret mendatang. "Sekarang saja sudah kritis, orang sudah susah mencari ICU," ujarnya.