TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Mikro menunjukkan bahwa pemerintah masih belum serius menanggulangi Covid-19. "Kebijakan ini justru menambah longgar pembatasan sosial. Sangat terlihat jelas bahwa pemerintah pusat masih terus berkompromi dengan bisnis dalam kebijakan kali ini," kata Tri saat dihubungi, Selasa, 9 Februari 2021.
PPKM Mikro mulai diterapkan hari ini hingga 22 Februari mendatang. Pembatasan sosial sekali mikro ini melonggarkan kegiatan usaha dengan mengembalikan kapasitas menjadi 50 persen seperti saat PSBB Transisi dan jam operasional hingga pukul 21.00, dari sebelumnya 19.00.
Baca: Jakarta Utara Bahas PPKM Mikro, Simak Pembatasan yang Akan Berlaku
Tri mengatakan pemerintah justru membuat pembatasan sosial yang semula berskala sedang menjadi lebih ringan dengan relaksasi kebijakan itu. Ia pesimistis penanggulangan wabah ini bisa dilakukan dengan baik. Apalagi provinsi dan banyak kota dan kabupaten di Pulau Jawa dan Bali, mesti mengikuti arahan PPKM Mikro ini.
"Seharusnya DKI tidak mengikuti PPKM Mikro dari pemerintah pusat.” Yang harus dilakukan DKI adalah mengetatkan PSBB tingkat sedang kemarin ke PSBB yang lebih berat.
PSBB tingkat berat di DKI bisa diterapkan dengan memaksimalkan penerapan 25 persen kapasitas sektor usaha dan mengurangi jam operasional hingga pukul 18.00. Selain itu, Pemerintah DKI juga bisa mengambil alternatif membuat jam malam agar warga tidak keluar rumah.
"Dan yang lebih penting berikan sanksi seberat-beratnya bagi pelanggar protokol yang sudah ditetapkan," ujarnya.
Menurut Tri, selama DKI mengikuti arahan pemerintah pusat dalam menerapkan pembatasan sosial maka tidak ada harapan untuk mengendalikan pandemi ini. "Pemerintah pusat tidak punya harapan untuk mengendalikan wabah. Karena yang dipikirkan adalah kompromi dengan bisnis dan ekonomi," ujarnya.
Tri menyarankan agar karantina wilayah diberlakukan agar penularan Covid-19 ini bisa cepat dikendalikan. Risikonya adalah perekonomian semakin terpuruk. "Tapi akan lebih cepat membaik setelah lockdown seperti Cina.”
Sedangkan efek kebijakan yang diberlakukan di Indonesia, bukannya menekan penularan, tapi justru tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya. Di antaranya PPKM Mikro. “Sampai orang jenuh," ujarnya.