TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna mengatakan perubahan drastis dalam sisi pembangunan menyebabkan kawasan Kemang, Jakarta Selatan, dilanda banjir pada akhir pekan lalu. Yayat menyebut mulanya Kemang merupakan kawasan permukiman sekitar tahun 1970-an. Pembangunan mulai terasa saat banyak ekspatriat yang menyewa rumah warga dan tinggal di sana.
“Ketika orang asing banyak ke situ, tumbuh kembang lah usaha pertokoan untuk mendukung keberadaan ekspatriat,” ujar Yayat lewat sambungan telepon pada Senin malam, 22 Februari 2021. “Harusnya perumahan, itu jadi mall, kafe, dan sebagainya.”
Menurut Yayat, pesatnya pembangunan menyebabkan tak sedikit pelanggaran aturan yang dilakukan oleh pengembang. Pada 2010, kata dia, dalam rencana tata ruang DKI Jakarta, pelanggaran yang dilakukan oleh para pengembang itu diputihkan. Saat itu, sudah 70 persen lebih lahan di Kemang yang tadinya perumahan berubah menjadi kawasan perdagangan dan jasa.
Dalam pemberian izin di tata ruang, kata Yayat, ada istilah ITBX. Ia menjelaskan, I memiliki arti pembangunan diizinkan, T terbatas, B bersyarat, dan X tidak diizinkan sama sekali.
Baca juga: Anies Baswedan Kunjungi Kemang Raya: Banjir Kiriman dari Hulu Kali Krukut...
Kedisiplinan pengembang dalam mengikuti izin yang mereka terima menurut Yayat perlu dicek kembali. Mengingat Kemang merupakan daerah resapan air dengan curah hujan yang tinggi dan berada dekat dengan aliran sungai. “Hijaunya masih dipertahankan atau tidak? Pembangunan di sana itu persyaratannya dipenuhi atau tidak?” ujar dia.
Yayat mengatakan banyak orang yang lupa bahwa wilayah Jakarta Selatan termasuk ke dalam zona dengan intensitas hujan yang tinggi selain Jakarta Utara. Atas dasar itu, Jakarta Selatan ditetapkan menjadi wilayah resapan air. “Keluar lah namanya Koefisien Dasar Bangunan. Pembatasan tanah untuk pembangunan. Mungkin sekitar 40 persen dari peruntukan tanah boleh dibangun, sisanya tidak,” tutur Yayat.
Pengawasan penerapan Koefisien Dasar Bangunan itu, kata Yayat, menjadi sulit saat rakyat kelas menengah dan pembangunan mal makin banyak di Jakarta Selatan. Perubahan itu berdampak pada wilayah Kemang yang notabene dilewati oleh aliran Kali Krukut yang memiliki hulu di Depok yang ruang terbuka hijaunya juga sudah berkurang. Ditambah, kata Yayat, saat ini hujan dengan intensitas ekstrem lebih sering terjadi.
Jika tidak ada upaya yang bersifat masif oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi banjir, salah satunya dengan normalisasi sungai, Yayat mengatakan banjir akan selalu terjadi di Kemang. “Ke depan kalau tidak ada restorasi dalam arti perubahan tata manajemen air, pengendalian banjir yang betul-betul luar biasa, Kemang akan menjadi kawasan bisnis di kawasan bencana. Akan selalu banjir,” ujar Yayat. Banjir, lanjut dia, akan lebih sering terjadi akibat hujan ekstrem lantaran daya tampung Kali Krukut belum ditingkatkan secara signiikan.