ASAL USUl SENGKETA
Lahan yang ditempati warga RT 013 berasal dari tanah adat dengan girik induk C286 atas nama Sauih Bin Haji Buang. Girik itu terbagi atas dua persil, yakni 8.a SIII seluas 8,870 meter persegi dan 9D-1 seluas 8,810 meter persegi. Warga menempati lahan tersebut sejak 1980-an dengan membeli tanah dari ahli waris Sauih, yakni Salim.
Pada 1983, Salim menggugat orang bernama Mizar karena menempati sebagian lahan yang terdaftar di girik C286. Keduanya menduduki lahan seluas 6,100 m2 di persil 8.a SII dan 1,500 m2 di persil 9D-1. Di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memenangkan Salim melalui putusan Nomor: 167/JT1983.G. Pengadilan menyatakan Salim sebagai anak kandung Sauih dan ahli waris atas tanah dengan luas total 7,600 m2 itu.
Namun pada 1985, Mizar dan Usman mengajukan banding di Pengadilan Tinggi DKI dan menang. Permohonan kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK) oleh Salim juga ditolak. Mizar lantas menjual tanah tersebut ke Herman Triatmo, Juni Wulandari dan Victor. Namun, kata Ian, lahan yang diperjual-belikan berada di luar obyek perkara antara Salim Vs Mizar Cs di pengadilan.
"Lahan yang dijual berasal dari persil 8.a SIII seluas 8,870 meter persegi. Padahal yang diperkarakan oleh Salim di Pengadilan pada 1983 itu seluas 1,500 meter persegi di persil 8.a SIII," ujar Ian.
Ian juga mengatakan adanya kecacatan Surat Keterangan Tanah Tidak Bersengketa yang diterbitkan oleh seorang lurah pada tahun 1996. Surat itu menyatakan bahwa Herman Triatmo membeli tanah dari Sauih dengan merujuk akta jual beli (AJB) Nomor 999/Cipayung/1996. SK itu dinilai bermasalah, karena Sauih telah meninggal pada 1967 sehingga tak mungkin menjual tanah pada 1996.
"Tindakan ini adalah bukti bahwa oknum lurah memainkan peranan penting pada praktik mafia tanah," kata Ian.
Ian melanjutkan, melalui AJB yang dinilainya abal-abal itu, terbitlah sertifikat tanah atas nama Herman Triatmo, Juni Wulandari dan Victor dengan luas total 9,400 m2 pada 1998. Dari tahun reformasi hingga 2020, kata Ian, pemilik sertifikat tidak pernah memelihara tanah tersebut.
Versi berbeda disampaikan oleh Namin, orang yang mengaku ditugaskan oleh Herman Triatmo menjaga lahan di Lubang Buaya. Salim disebut bukan anak kandung Sauih, melainkan anak pungut sesuai putusan banding dari Mizar.
Menurut Samin, Mizar mendapatkan tanah di lokasi itu karena membeli dari Sauih. Namun, papar dia, karena Mizar yang tinggal di Menteng, Jakarta Pusat, jarang ke Lubang Buaya, Salim menjual tanah itu ke orang-orang. Tidak hanya itu, Salim justru menggugat Mizar ke pengadilan, namun kalah hingga ke tingkat PK.
"Setelah putusan PK itu, dibuatkanlah akte jual-beli untuk Pak Herman Triatmo dan kemudian ditingkatkan menjadi sertifikat oleh BPN," kata Namin, Rabu, 31 Maret 2021.
Namin juga membantah pihaknya melakukan penggusuran paksa. Tim legal dari Herman Triatmo, kata dia, sudah memberikan teguran dan somasi terlebih dahulu kepada warga sebelum melakukan pembongkaran bangunan. Sebagian warga diklaimnya mengerti akan proses itu.
"Warga yang mau musyawarah, kami kasih uang kerohiman sedikit, baru kami bongkar," kata Namin.
Ihwal penggunaan preman untuk intimidasi juga disangkal. Namin mengatakan, orang-orang yang diterjunkan ke lokasi adalah pekerja untuk membongkar bangunan. Sementara mengenai penempatan sejumlah orang di kawasan RT 013/RW 09, Lubang Buaya tersebut disebutnya demi keamanan. "Dijaga, karena sebelumnya pernah pasang plang dipotong, itulah yang dilaporkan ke Polda," kata Namin.
M YUSUF MANURUNG