Jakarta - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta menyatakan masyarakat berhak mengetahui isi adendum atas perjanjian kerjasama swastanisasi air antara PAM Jaya dengan PT AETRA. Adendum perjanjian merupakan tambahan dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 891 tahun 2020, yang diteken Anies pada 31 Agustus tahun lalu.
"Kami mendesak Pemerintah DKI membuka isi adendum itu," kata Anggota Koalisi Masyarakat Yunita kepada media secara daring pada Ahad, 11 April 2021.
Baca: Swastanisasi Air dengan Aetra, Koalisi Masyarakat Desak Anies Buka Adendum
Ia mengatakan Koalisi telah dua kali mengirim surat permohonan agar Pemerintah DKI membuka isi adendum itu. Namun, permintaan itu tidak bisa dipenuhi dengan alasan yang berubah-ubah. Pemerintah DKI memberikan keterangan tertulis bahwa adendum itu masih dalam proses kajian, dan kedua pemerintah beralasan tidak menguasai isi perjanjian itu karena bagian dari bisnis antar perusahaan.
"Atas pernyataan itu, kami punya sembilan keberatan kepada Pemerintah DKI." Berikut keberatan koalisi:
1. Adendum atau tambahan perjanjian sudah final karena sudah disahkan melalui Kepgub 891 Tahun 2020. Dengan demikian alasan Kepala Dinas Komunikasi Desember tahun lalu, bahwa adendum masih dalam kajian tidak benar. "Karena tidak mungkin mengesahkan sesuatu yang masih dikaji."
2. Jawaban Sekda DKI Jakarta bahwa Pemerintah DKI Jakarta tidak menguasai adendum itu tidak mungkin karena pasti dibaca dan diteliti terlebih dahulu sebelum disahkan.
3. Jawaban informasi publik yang inkosisten dari Kepala Dinas Komunikasi dan Sekda DKI Jakarta, membuat publik bertambah curiga.
4. Publik berhak tahu isi adendum itu sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
5. Monopoli dan ketertutupan informasi dalam pengelolaan negara sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan prinsip transparansi kebijakan publik.
6. Kepgub itu tidak mendasarkan pada bagian menimbang dan mengingat, bahkan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air ataupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015.
7. Pemerintah DKI Jakarta sudah mengeluarkan waktu, tenaga, dan uang rakyat untuk membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air yang dalam laporannya bulan Oktober 2018 sudah merekomendasikan untuk mengambil alih layanan air bersih dari pihak swasta, yakni PT PALYJA dan AETRA.
8. Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) sudah mengeluarkan Roadmap Pengelolaan Air Bersih Jakarta tanggal 11 April 2018 yang salah satu rekomendasinya adalah penghentian privatisasi air.
9. BPKP sudah menyatakan bahwa per 31 Desember 2016 akumulasi kerugian PAM Jaya Rp 1, 266 triliun dan ekuitas negatif sebesar Rp 945, 8 miliar.
PAM Jaya juga memiliki kewajiban (shortfall) kepada PT Palyja sebesar Rp 266.5 miliar, PT Aetra sebesar Rp 173, 8 miliar atau seluruhnya berjumlah Rp 440, 3 miliar, defisit akibat penerimaan kas atas air yang terjual yang lebih kecil dari jumlah imbalan (water charge) yang dibayar.
"Artinya kerugian negara sudah triliunan rupiah dalam swastanisasi air Jakarta."
Berdasarkan sembilan catatan itu, Koalisi mendesak Anies untuk mencabut Keputusan Gubernur nomor 891/2020 karena bertentangan dengan ataupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 dan UU SDA.
Koalisi mendesak Pemerintah DKI membuka isi dokumen adendum perjanjian kerjasama antara PD PAM Jaya dengan PT Aetra Air Jakarta kepada publik. "Kami juga meminta Gubernur DKI Jakarta untuk bersikap transparan, parsitipatif, dan taat hukum dalam pengelolaan air Jakarta, tidak melakukan upaya-upaya terselubung yang dapat berpotensi melanjutkan swastanisasi air DKI Jakarta."