TEMPO.CO, Jakarta - Tasrudin, 52 tahun, sopir Perusahaan Otobus (PO) Sinar Jaya, dongkol mendengar larangan mudik lebaran yang ditetapkan pemerintah pada 6-17 Mei mendatang.
"Pemerintah tidak konsisten. Awalnya membolehkan sekarang melarang," kata sopir bus AKAP itu di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Selasa, 20 April 2021.
Baca Juga:
Kebijakan mudik lebaran yang dikeluhkan Tasrudin memang berubah 180 derajat. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengubah lampu hijau mudik dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Pada saat rapat kerja dengan Komisi V DPR di Jakarta, 16 Maret 2021, Budi Karya membolehkan mudik lebaran tahun ini. Berselang 10 hari dari pernyataan Menhub itu, Muhadjir dalam jumpa pers menyatakan pemerintah resmi melarang mudik lebaran tahun ini pada periode 6-17 Mei 2021.
Menurut Tasrudin, larangan mudik itu membuat mereka bertambah susah. Sebab selama angkutan mudik dihentikan, otomatis para sopir tidak bisa mencari nafkah.
Suasana keberangkatan bus antarkota di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Kamis, 8 April 2021. Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan bakal menutup tiga terminal keberangkatan bus antar kota antar provinsi (AKAP) di ibu kota. TEMPO/Subekti.
"Kami kan dibayar berdasarkan ritase (perjalanan). Kalau dihentikan selama dua pekan dari mana kami cari makan," ujarnya. "Harusnya pemerintah memberikan insentif selama menghentikan operasional kami."
Pria yang sudah 15 tahun menjadi sopir bus AKAP itu berharap pemerintah masih bisa mengubah kebijakan dengan membolehkan mudik dengan syarat yang ketat. "Tahun kemarin kan pakai SIKM (surat izin keluar masuk). Sekarang diterapkan saja lagi, dan jangan dilarang total seperti sekarang."
Jika pemerintah tidak bisa mengubah kebijakan, ia berharap pemerintah memberikan insentif seperti tahun lalu. Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dan larangan mudik lebaran tahun lalu, dia sempat dirumahkan selama enam bulan.