Selama dirumahkan, Tasrudin menerima insentif sebesar Rp 600 ribu yang diberikan setiap tiga bulan. "Tapi insentif itu tidak cukup bagi saya yang sudah berkeluarga. Tahun kemarin saya sampai utang Rp 7 juta ke saudara untuk kebutuhan hidup sehari-hari."
Tasrudin meminta pemerintah mempertimbangkan nasib pekerja sepertinya yang bergantung kepada jasa transportasi. Menurut dia, jika jasa transportasi mudik tahun ini dihentikan maka bakal ada ribuan sopir yang tidak bisa mencari nafkah.
"Karena kami dibayarnya harian. Kami juga tidak dapat THR (tunjangan hari raya) seperti pegawai kantoran," ujarnya. "kalau dilarang sekarang saya mau tanya ada solusi yang dipikirkan tidak dari pemerintah kepada kami?"
Sopir PO Haryanto, Jaini, 48 tahun, juga berpendapat senada. Larangan mudik ini membuat mereka bertambah sulit. "Karena pas lagi ramai penumpang kami justru dilarang bekerja."
Dia berharap pemerintah tidak melarang bus AKAP beroperasi karena protokol kesehatan telah diterapkan selama di perjalanan. Seluruh sopir maupun kernet hingga penumpang pun menggunakan masker. "Kami juga sediakan hand sanitizer. Intinya penumpang juga sudah sadar dan tahu kalau sekarang masih pandemi."
Menurut dia, larangan mudik tahun ini juga masih setengah-setengah karena mudik antarwilayah seperti di Jabodetabek masih diperbolehkan. Begitu juga mudik antarkota atau algomerasi. "Apa bedanya mudik jauh sama mudik antarkota di Jabodetabek. Kalau mau larang, larang sekalian semuanya," ujarnya.
Larangan mudik yang masih setengah-setengah akan membuat warga mencari celah untuk tetap pulang kampung. "Pemudik itu selama masih ada celah pasti tetap mencari celah itu."
Baca juga: Penumpang Bus Diperkirakan Meningkat Sepekan Sebelum Larangan Mudik