TEMPO.CO, Jakarta - Kasus prostitusi anak di DKI Jakarta kembali terungkap. Dua muncikari ditangkap oleh polisi, karena diduga mempekerjakan sebanyak 18 anak sebagai pelacur di dua hotel di kawasan Jakarta Barat.
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan faktor-faktor yang membuat anak masuk ke dalam dunia prostitusi, juga harus dilihat dari aspek psikoseksualnya. Walaupun, analisa psikoseksual akan tidak sejalan lurus dengan undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Kalau mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak, tidak ada kompromi, orang yang melakukan eksploitasi terhadap anak pasti dipidana, apapun alasannya. Anak adalah yang di bawah 18 tahun, pukul rata," kata Reza kepada Tempo, Selasa, 25 Mei 2021.
Sementara dalam psikoseksual, kata Reza, setiap anak memiliki kompleksitas sesuai dengan umurnya. Misalnya pada usia 5 tahun, kata dia, secara umum bisa dipastikan masih belum memiliki ketertarikan seksual. Sementara di usia 12 tahun, kata Reza, secara umum sudah bisa merasakan sensasi seksual dalam tubuh.
"Kemudian anak 17 tahun, secara umum sudah punya minat seksual bahkan mungkin sudah melakukan eksplorasi seksual," kata Reza.
Reza mengatakan, tingkat perkembangan psikoseksual yang berbeda di antara umur-umur itu bisa memberi penjelasan tentang prostitusi di kalangan anak. Menurut Reza, jika anak di bawah 10 tahun yang masuk ke dunia prostitusi, maka masalahnya bisa dibuat 'hitam-putih' sesuai dengan undang-undang perlindungan anak. Potensi akan eksploitasi bisa dijabarkan secara mudah.
"Kalau bicara anak umur belasan tahun, maka betapapun di hadapan hukum tetap salah, tapi secara psikologi kita bisa menemukan penjelasan dalam tanda kutip masuk akal."
Reza menambahkan, prostitusi juga memiliki jenisnya sendiri, yaitu forced prostitution dan voluntary prostitution. Pada kategori pertama, kata dia, pada prinsipnya orang tak ingin menjadi pelacur. Orang bisa masuk ke dalan prostitusi karena adanya paksaan, intimidasi dan sebagainya.
"Sedangkan pada kategori voluntary prostitution, yaitu dilakukan secara sukarela. Mereka melihat prostitusi sebagai peluang bisnis," kata Reza.
Menurut Reza, jenis voluntary prostitution tidak bisa dikategorikan sebagai eksploitasi seksual. Namun menurut dia, kompleksitas psikologis dalam kasus prostitusi anak ini belum terjangkau oleh hukum yang ada.
"Adanya kategori voluntary prostitution menunjukkan bahwa ada realitas non-hukum yang menjadi persoalan. Persoalan pelik yang butuh respon multidimensional," kata Reza.
Dalam kasus prostitusi yang terbaru, dua muncikari berinisial AD, 27 tahun, dan AP (24) ditangkap anggota Subdit 5 Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 19-21 Mei lalu. Mereka menjual belasan anak di bawah umur itu melalui aplikasi MiChat dengan tarif Rp 300-500 ribu sekali kencan. Dalam setiap transaksi, mereka mengambil komisi Rp 50-100 ribu dari setiap anak.
"Uang hasil prostitusi online digunakan untuk membayar sewa kamar hotel serta kebutuhan sehari-hari yang ditanggung oleh korban," ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Senin lalu.
Menurut Yusri, cara kedua tersangka menjerumuskan anak ke dalam bisnis prostitusi adalah dengan mengajak berkenalan di media sosial. Setelah kenal dekat dan bertemu, mereka memacari para korban. Mereka kemudian mengajak korban menginap di hotel selama beberapa hari. Setelah itu, tersangka menjual korban melalui aplikasi.
Pada kasus prostitusi anak yang diungkap Polres Metro Jakarta Barat pada Februari 2019 lalu, Komisioner KPAI, Ai Maryati Solihah sempat menyampaikan pendapatnya tentang bagaimana anak bisa masuk ke bisnis ini.
Ai berujar bahwa kebanyakan anak-anak yang masuk ke dunia prostitusi baik online maupun konvensional, tidak atas keinginan sendiri. "Kalau mereka ditanya, karena keinginan sendiri atau diajak orang? Karena diajak, dan dipikir-pikir mau juga," kata Ai, Kamis, 7 Februari 2019.
Ai menjelaskan, bahaya baru datang setelah anak-anak itu masuk ke jaringan prostitusi. Mereka tidak akan bisa keluar begitu saja. Ai mengatakan, mucikari akan memonitor, mengarahkan, bahkan mengancam anak.
"Artinya, ada penguasaan tubuh seorang atas orang lain, itu yang kita disebut tindak eksploitasi," ujar Ai.
Ai mengatakan, kalau pun ada kesepakatan antara anak dengan muncikari, atau bahkan anak yang meminta menjadi prostitusi, KPAI tetap menganggap mereka sebagai korban prostitusi. Alasannya, anak-anak itu tidak merdeka atas tubuhnya.
Baca juga: Prostitusi Online, 75 Orang Ditangkap dalam Penggerebekan Dua Hotel
M YUSUF MANURUNG