TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) menyoroti kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan jalur khusus sepeda balap atau road bike. Jalur khusus sepeda balap itu disiapkan di Jalan Layang Non-tol (JLNT) Tanah Abang-Kampung Melayu dan Jalan Sudirman-Thamrin.
ITDP menilai kebijakan jalur sepeda balap ini berpotensi mengundang pengguna kendaraan bermotor untuk melanggar peraturan dan menggunakan jalur sepeda terproteksi. Sebab, para pengguna kendaraan bermotor bisa berdalih ruang jalan mereka terambil oleh pesepeda balap.
"Tak jarang kemudian menimbulkan polemik dan gesekan, baik dengan pengendara kendaraan bermotor maupun warga lain yang bersepeda," kata Direktur ITDP Asia Tenggara Faela Sufa dalam keterangan tertulis, Jumat, 11 Juni 2021.
Faela menyoroti tindakan para pengguna road bike yang cenderung memacu kecepatan setinggi mungkin dan bersepeda dalam kelompok besar. Dalam beberapa kesempatan, kata dia, kelompok pengguna road bike juga didampingi sepeda motor yang menghalau kendaraan lain atau mengambil foto.
Faela menjelaskan, Pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 sebenarnya melarang kendaraan tidak bermotor menggunakan jalur kendaraan bermotor ketika telah tersedia jalur khusus. Di sisi lain, Pasal 284 mengatur kewajiban bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda, lalu Pasal 287 ayat (1) melarang kendaraan bermotor untuk melanggar marka jalan.
Artinya, kata Faela, setiap pengguna moda transportasi, baik bermotor maupun tidak, harus menggunakan jalur yang telah ditentukan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan bersama.
Selain itu, ada pula aturan yang menentukan batas atas kecepatan bagi sepeda yakni 25 km/jam. Hal ini tertuang dalam aturan Dinas Perhubungan DKI Jakarta merujuk Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020. Ada pula Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 yang melarang berkendara dengan berjajar lebih dari dua sepeda.
"Jika pesepeda balap memilih untuk menggunakan ruang jalan, sebagai bagian dari pengguna jalan dengan kedudukan yang sama di mata hukum wajib menaati peraturan-peraturan tersebut," ujar Faela.
Sebelumnya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berinisiatif menjadikan JLNT Tanah Abang-Kampung Melayu sebagai jalur khusus pesepeda balap setiap Ahad. Dishub DKI juga memberikan izin bagi pesepeda road bike untuk menggunakan jalur kendaraan bermotor setiap hari Senin-Jumat pada pukul 05.00 hingga 06.30.
Menurut Faela, kebijakan penambahan ruang publik baru untuk transportasi ramah lingkungan perlu disambut baik jika manfaat dan/atau penggunaannya dapat dinikmati seluruh warga tanpa terkecuali. "Bukan hanya diciptakan untuk jenis sepeda tertentu saja," ucapnya.
Ia juga mengingatkan, penggunaan JLNT sebagai ruang publik memerlukan mitigasi risiko keamanan, kenyamanan, dan keselamatan penggunanya. Misalnya pembagian lajur cepat dan lambat, kemungkinan kecelakaan akibat kontur menanjak, serta sosialisasi ihwal aturan dan risiko penggunaan JLNT untuk road bike.
"Implementasi mitigasi ini sangat sulit diterapkan di JLNT, terutama pembagian kecepatan," kata Faela.
Ketimbang menyediakan jalur sepeda eksklusif bagi pesepeda balap di jalan layang, ITDP menyarankan pemerintah DKI fokus memperluas kawasan, memperbanyak lokasi, dan memperpanjang durasi Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). ITDP menilai langkah ini bisa menjadi alternatif yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi warga.
Menurut ITDP, ruas jalan lain yang bisa menjadi ruang bagi pesepeda dan aktivitas publik misalnya Jalan Benyamin Sueb dan Jalan Gajah Mada. Ruas-ruas jalan ini dinilai lebih ramah dan inklusif untuk kegiatan publik.
Kebijakan Pemprov DKI menyediakan jalur khusus bagi road bike ini juga mendapatkan tentangan dari sejumlah kelompok masyarakat. Bike to Work (B2W) misalnya, akan menggelar aksi memprotes kebijakan ini pada Ahad mendatang, 13 Juni 2021.
Baca juga: Aksi Tolak JLNT untuk Road Bike, Wagub DKI: Sekarang Waktunya Kritik