TEMPO.CO, Jakarta - Inisiator Vaksin Nusantara Letnan Jenderal TNI (Purn) Terawan Agus Putranto meminta dukungan Komisi VII DPR RI agar vaksin besutannya itu bisa diizinkan lanjut ke tahap uji klinis fase III. Sebelumnya, penelitian vaksin Nusantara dihentikan setelah menuai polemik. Apalagi Badan Pengawas Obat dan Makanan tak meluluskan uji klinis fase I
Berikut ini merupakan lima temuan BPOM yang mengganjal uji klinis tersebut.
1. Uji klinis Vaksin Nusantara berjalan tanpa pengawasan
Uji klinis tahap satu Vaksin Nusantara di RS Kariadi disebut berjalan tanpa pengawasan Komite Etik. Padahal, menurut Kepala BPOM Penny Lukito, komite etik di lokasi penelitian harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji klinik dan subjek penelitian.
Dalam kasus ini, penelitian dilakukan di RSUP Dr Kariadi, Semarang, bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, Jawa Tengah. Sehingga, Penny menyebut RS Kariadi harus mempunyai komite etik yang mengawasi uji klinik di rumah sakit mereka.
Akan tetapi, komite etiknya justru berada di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. "Saya kira di awal itu tidak ada pembuktian bahwa keselamatan subjek penelitian itu jadi tanggung jawab komite etik," kata Penny.
2. Uji klinis I tak memenuhi good clinical practice
Salinan laporan BPOM terhadap hasil uji klinis fase 1 Vaksin Dendritik (AV-Covid19) alias Vaksin Nusantara, yang diperoleh Tempo, menyebutkan aspek cara uji klinik yang baik memang tak terpenuhi.
BPOM menemukan bahwa dari data baseline imunogenitas yang diserahkan, semua subjek yang diuji klinis ternyata sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Padahal seharusnya subjek yang diuji belum terpapar.