TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander Ginting mengatakan kepatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan memang butuh proses. Menurut dia, masyarakat perlu memahami dulu bahwa protokol pencegahan penyebaran virus Corona itu untuk melindungi dirinya, keluarga, dan orang lain.
"Dalam hal ini memang komunikasi risiko itu harus main, dan komunikasi risiko itu tidak mungkin kita pakai dengan bahasa Jakarta, dengan bahasa dari media, yang sulit dipahami kalau itu di daerah," kata Alexander dalam sebuah talkshow di Jakarta, Kamis, 15 Juli 2021.
Menurut Alexander, komunikasi risiko Covid-19 harus diterjemahkan dengan bahasa lokal. Jika tidak dilakukan seperti itu, kata dia, akan selalu muncul resistensi maupun pengabaian protokol Covid-19.
Contoh resistensi yang timbul akibat kurang pemahaman risiko seperti yang terjadi di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Orang Madura yang hendak ke Surabaya tidak mau diswab antigen.
"Pencolokan hidung dan tenggorokan itu dianggap mereka sebagai sesuatu yang tidak di-orangkan, akhirnya mereka memberontak," kata Alexander.
Contoh lain adalah stigma yang muncul di masyarakat bahwa protokol pencegahan Covid-19 adalah sistem yang merenggangkan silaturrahmi warga. Mereka yang beranggapan demikian belum paham bahwa Covid-19 bisa ditularkan melalui transmisi udara yang sangat rentan terjadi dalam sebuah kerumunan.
Agar komunikasi risiko itu dapat sampai ke masyarakat hingga berujung pada kepatuhan, Alexander menyarankan sebuah solusi. "Kita pemerintah ini harusnya jangan mendikte, tapi bagaimana kita menggunakan berbagai stakeholder, kelompok elit yang ada di masyarakat untuk bisa membahasakannya ke dalam bahasa budaya mereka," kata Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 itu.
#Cucitangan
#Pakaimasker
#Jagajarak
Baca juga: Begini Satgas Covid-19 Bekasi Larang Warga Memancing dan Batasi Nelayan