TEMPO.CO, Jakarta - Perjuangan merebut kemerdekaan di tanah Betawi tak bisa lepas dari peran ulama yang menjadi panutan bagi masyarakat saat itu. Salah satu ulama yang cukup melegenda yaitu Muhammad Arif atau Haji Darip.
Putra bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan dari H. Kurdin dan Hj. Nyai ini dikenal sebagai ulama sekaligus pemimpin perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Jepang. Darip tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ia bisa membaca dan menulis dari temannya.
Darip pernah pergi ke Mekah dan Madinah selama 2 tahun untuk memperdalam ilmu agama. Di sana Darip bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara. Sekembalinya ke Tanah Air, ia mengawali perjuangan dengan berdakwah di sebuah musala kecil yang kini berubah menjadi Masjid Al-Makmur, masjid yang cukup megah di Klender, Jakarta Timur.
Mengutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), perjuangan Darip dimulai saat era pendudukan Jepang. Pada 1 Maret 1942, bala tentara Jepang mendarat di Banten dan beberapa hari kemudian memasuki Kota Jakarta.
Setelah beberapa bulan tentara Jepang berada di Jakarta, masyarakat mulai kesulitan memperoleh bahan pokok seperti beras, jagung, dan barang kelontong lainnya. Rupanya kebutuhan pokok ini dibawa oleh tentara Jepang melalui pelabuhan Tanjung Priok yang tidak diketahui tujuannya. Di pinggir-pinggir jalan mulai kelihatan banyak rakyat yang kelaparan.
Dengan keadaan yang semakin memprihatinkan, Darip kemudian memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para jawara untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, Cipinang Cempedak, sepanjang Kali Cipinang dan lain-lain.
Setelah Jepang menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara sekutu berusaha kembali menjajah Indonesia. Saat itu Darip bersama pasukannya yang tergabung dalam Barisam Rakyat (BARA) bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Soekarno.
Oleh Belanda, Darip dianggap sebagai orang yang berbahaya. Oleh karena itu, Belanda menyebar mata-mata untuk menangkap Darip dan memenjarakannya. Setelah penyerahan kedaulatan RI pada akhir Desember 1949, Darip dibebaskan dari penjara.
Setelah bebas, Darip tak peduli terhadap gelar veteran dan pahlawannya. Ia menghabiskan waktu untuk berdakwah di Klender dan sekitarnya.
Ulama Betawi ini meninggal di Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung Jakarta Timur.
WINDA OKTAVIA
Baca juga: