Menurut Suhanda, aktivitas melukis tembok itu tidak menganggu lingkungan sekitar.
"Gak ngaruh sih, malah ada pemandangan, ketimbang isinya spanduk spanduk begitu," ujarnya sambil melirik spanduk yang menempel di tembok itu.
Deka Sike, salah satu pembuat mural Tuhan Aku Lapar mengakui sejak polisi mendatangi rumah mereka pasca mural itu viral, dia dan teman temanya tertekan dan takut membuat mural lagi. "Jadi pikir-pikir, kayak dibatasi," katanya.
Padahal, kata Deka, dia dan 20 orang temannya yang tergabung dalam Komunitas Halfway Connection (HFC) telah empat tahun melukis ditembok itu. "Dan selama ini tak pernah ada masalah," ujarnya.
Deka mengatakan objek yang mereka jadikan mural biasanya spontanitas dan tidak direncanakan. "Lebih kepada mengekspresikan seni saja," katanya.
Seperti mural Tuhan Aku Lapar, menurut Deka, kalimat itu mereka buat secara spontan berbekal dengan cat bekas warna hitam dan putih. "Yang bikin 15-20 orang selama 4 jam," katanya.
Kalimat Tuhan Aku Lapar dipilih karena mewakili kondisi mereka saat itu karena pandemi Covid-19. "Ini adalah keluhan dan doa kami pada Tahun sang pencipta," kata Deka.
Jadi, kata dia, kalimat itu sama sekali tidak menyinggung bahkan menyindir pihak manapun. "Ini ekspresi dalam bentuk seni saja."
Sebuah mural bertuliskan Tuhan Aku Lapar yang terpampang di Jalan Raya Arya Santika, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang viral di media sosial pada 24 Juli lalu. Kalimat dengan huruf kapital berwarna putih mengkilat berukuran jumbo itu sempat terpampang jelas dan diabadikan sejumlah pengguna jalan.
Setelah viral di medsos, aparat Satpol PP kecamatan Tigaraksa langsung menghapus tulisan itu. Keesokannya aparat kepolisian dari Polres Kota Tangerang mendatangi rumah dua pembuat mural itu.
JONIANSYAH HARDJONO
Baca juga : Mural Jokowi 404 Not Found di Kota Tangerang Dihapus: Polisi Buru Pemural