TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo mengatakan sengketa lahan menjadi salah satu penghambat penyaluran air bersih untuk seluruh warga Jakarta. PAM Jaya tidak bisa memasang pipa air bersih di rumah warga yang status lahannya tidak jelas.
"Ada potensi bagaimana sambungan-sambungan yang tidak secara sah dilakukan," kata dia dalam diskusi daring, Rabu, 1 September 2021. Menurut dia, warga yang tinggal di lahan sengketa juga memiliki hak mendapatkan air bersih.
Untuk mengatasi masalah itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lantas menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2020. Kebijakan ini membahas soal tata cara penyambungan dan pemakaian air minum.
"Solusi sementara untuk bisa memberikan sambungan langsung khusus kepada warga DKI yang berada di lahan sengketa," terang dia.
Hambatan kedua adalah sumber air baku yang terbatas. Bambang menuturkan 81 persen layanan air minum perpipaan di Jakarta berasal dari air baku Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Meski Jakarta memiliki 13 sungai dan 108 embung, situ, dan waduk, hanya enam persen air minum Ibu Kota yang bersumber dari sungai Jakarta. Untuk itu, PAM Jaya membangun instalasi pengolahan air (IPA) sea water reverse osmosis (SWRO) di Kepulauan Seribu. Bambang menyebut PAM Jaya tak bisa selalu mengandalkan ekstraksi air tanah untuk menyediakan air bersih.
Hambatan ketiga, yakni membuat tarif air bersih terjangkau. Dia menyampaikan pengelolaan air dengan SWRO lebih mahal ketimbang menyalurkan air dari pipa utama (mainline). Harga produksi SWRO, lanjut dia, lebih tinggi 10 kali lipat.
"Harga pokok produksi lebih tinggi daripada tarif yang diberlakukan kepada warga, sehingga kami pastikan keterjangkauannya," kata Dirut PAM Jaya itu.
PAM Jaya mencatat, penyaluran air bersih baru menjangkau 64 persen penduduk Ibu Kota pada 2020. Di Jakarta Barat dan Jakarta Utara juga tidak ada akses terhadap jaringan air bersih.
Baca juga: Soal Rekomendasi KPK, Perpanjangan Kontrak PAM Jaya - Aetra Libatkan BPK