TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum terduga pelaku pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Tegar Putuhena membantah kliennya melakukan kekerasan dan perundungan seperti yang dituduhkan. Menurut kuasa hukum RT dan EO itu, tidak ada bukti pendukung yang mengindikasikan kliennya melakukan hal tersebut.
"Peristiwa di tahun 2015 yang dituduhkan dan sudah viral itu tidak ada, tidak didukung bukti apa pun," ujar Tegar saat dikonfirmasi, Selasa, 7 September 2021.
Dalam rilis yang disebarkan oleh korban MS, Tegar mengatakan salah satu kejadian yang dilakukan para pelaku adalah menelanjangi MS dan mendokumentasikan alat vital korban untuk diperjualbelikan. Namun, Tegar mengatakan sampai saat ini pihaknya belum melihat video yang dimaksud.
"Kami justru menunggu polisi untuk membuktikan itu. Kalau memang ada, coret-coret, ada fotonya, monggo," ujar Tegar.
Kemarin, penyidik Polres Metro Jakarta Pusat memanggil lima terduga pelaku pelecehan seksual untuk diperiksa. Mereka berinisial RM alias O, FP, RE alias RT, EO dan CL. Pemeriksaan berlangsung di ruang unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Pusat, Kemayoran, pada pukul 11.00.
Sebelumnya, cerita pelecehan dan perundungan pegawai KPI itu beredar di aplikasi percakapan. Korban adalah seorang karyawan pria di KPI yang mengaku mengalami perlakuan keji dari rekan kerjanya sejak 2012.
"Sepanjang 2012-2014, selama dua tahun saya di-bully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja senior. Mereka bersama sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya," ucap MS.
Penyintas mengatakan sudah tak terhitung berapa kali para pelaku melecehkan, memukul, memaki, dan merundung. Perendahan martabat itu, kata dia, dilakukan secara terus menerus dan berulang sehingga membuatnya tertekan dan hancur pelan-pelan.
"Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencoret-coret buah zakar saya memakai spidol."
Kejadian pelecehan seksual itu, kata korban, membuatnya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Dia mengaku menjadi stres, merasa hina, dan trauma berat. Namun, dia tetap bertahan di KPI Pusat demi mencari nafkah.
Baca juga: Kasus Pelecehan Seksual: Pegawai KPI Masih Sangat Trauma