TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek atau BPTJ Polana B Pramesti menyatakan diperlukan partisipasi pemerintah daerah setempat untuk melancarkan program operasional angkutan umum perkotaan dengan skema buy the service (BTS). Menurut dia, implementasi BTS harus dilakukan tak hanya pemerintah pusat, tapi juga kemauan atau goodwill dari pemerintah daerah dan instansi terkait.
"Kami tidak bisa memaksa masyarakat menggunakan transportasi umum kalau tidak ada partisipasi dari pemerintah daerah dan stakeholder lainnya," kata dia saat ditemui di kantornya, Lantai 15 Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat, Kamis, 7 Oktober 2021.
BPTJ memilih Kota Bogor sebagai proyek percontohan atau pilot project program ini. Rencananya mulai pekan ketiga Oktober ini, bus non-BRT akan beroperasi di Kota Bogor. Ada enam trayek dengan total 75 bus yang disediakan. BPTJ membeli pelayanan jasa operator bus, sama seperti konsep di PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta.
Menurut Polana, operasional bus BTS diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor dapat mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum, seperti membatasi jumlah kendaraan melintas di trayek bus atau menerapkan ganjil-genap.
"Kami punya mekanisme kebijakan namanya push and pull strategy di mana diharapkan dapat menarik masyarakat untuk menggunakan angkutan umum," jelas dia.
Polana menyebut persentase masyarakat yang menggunakan transportasi umum ditargetkan mencapai 60 persen pada 2029. Lalu perjalanan dari satu titik ke tempat tujuan maksimal 1,5 jam. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Penyediaan angkutan umum dengan skema BTS merupakan salah satu upaya mencapai target tersebut.
Baca juga: BPTJ Siapkan Operasional Bus di Kota Bogor dengan Sistem Buy the Service