TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta telah bersurat ke Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI untuk Turki mengenai rencana penamaan salah satu jalan di Jakarta
dengan nama Jalan Ataturk yang diambil dari nama Mustafa Kemal Ataturk. "DKI sudah menyampaikan surat ke Dubes Indonesia untuk Turki menyampaikan bahwa kami tentu menghargai, menghormati usul nama yang disampaikan oleh Pemerintah Turki," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di Balai Kota Jakarta, Kamis malam, 23 Oktober 2021.
Surat itu menjelaskan bahwa di Jakarta ada aturan soal penamaan jalan. Di antaranya adanya proses diskusi dengar pendapat dengan masyarakat jika timbul kontroversi. "Namun demikian kami sudah menyampaikan ada peraturan gubernur tentang penamaan jalan," kata Riza.
Peraturan gubernur itu di antaranya diatur supaya ada proses diskusi dengar pendapat dengan masyarakat kalau dirasa nama jalan yang diusulkan menimbulkan kontraversi. "Jadi, kita akan lakukan segera dengar pendapat," kata Riza.
Pemerintah DKI berharap nama jalan yang diusulkan adalah nama kota. Misalnya, Istanbul atau Ankara, bukan nama tokoh. "Kami berharap seperti nama yang kami berikan di Casablanca, dulu dengan Pemerintah Maroko. Jadi bukan nama tokoh tapi nama kota," ujar Riza.
Ia ingin duta besar menyampaikannya. Kami harap nanti Pemerintah Turki menyampaikan alternatif, pilihan-pilihan," kata politisi Partai Gerindra itu.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dalam konferensi pers terkait kunjungan bilateral ke Turki pada 12 Oktober 2021 mengatakan, Pemerintah Turki telah memberikan nama Jalan Ahmet Soekarno di Ankara.
"Pemerintah Turki telah menganugerahkan nama jalan di depan Kantor KBRI Ankara yang baru dengan nama Jalan Ahmet Soekarno," kata Menlu. Usul ini mendapat penolakan beberapa pihak yang berpandangan Mustafa Kemal Pasha adalah tokoh sekuler dan yang bertanggung jawab menghapuskan Kesultanan Turki Usmani.
Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal, usulan nama Ataturk oleh Turki karena Mustafa Kemal Pasha dianggap sebagai pahlawan oleh bangsa Turki, termasuk langkahnya menjadikan Turki menganut sekularisme (memisahkan agama dan negara) serta dianggap sebagai revisi atas kemerosotan wibawa, pengaruh dan sikap kesultanan yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Mustafa Kemal Pasha juga dianggap sebagai pembebas Turki karena menolak dan memimpin perlawanan untuk lepas dari cengkraman kekuatan Barat yang ingin menguasai bagian-bagian negara Turki sekarang lewat Perjanjian Sevres yang menyatakan kesultanan menerima kekalahan dalam Perang Dunia I kepada Sekutu dan setuju membagi wilayah Turki.
"Menilai sosok seseorang tak bisa hanya satu sumber, karena segala kebijakan biasanya mempunyai latar sosiologis dan politik tertentu." Bahkan fotonya masih dipajang di gedung dan lembaga pemerintahan.
Baca: Wagub DKI Harap Nama Baru Jalan di Menteng Pakai Nama Kota, Bukan Orang