TEMPO.CO, Bogor - Gema takbir pada malam Lebaran yang lalu membuat para imigran di wilayah Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, teringat pada kampung halaman mereka masing-masing. Para imigran dari sejumlah negara, seperti Pakistan dan Afganistan, sudah beberapa tahun hanya bisa memendam rindu pada sanak keluarga mereka.
Akhsan Nurrudin, 39 tahun, misalnya. Warga negara asal Pakistan itu bercerita, pada malam takbir kemarin timbul rasa rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya. Sudah 9 kali Idul Fitri, Akhsan tidak merayakannya di Sindh, Pakistan. Akhsan dan 27 imigran lainnya terpaksa merayakan Idul Fitri di wilaya Batulayang, Cisarua.
"Kami bersyukur masih bisa merayakan Idul Fitri, bersama muslim lainnya di sini. Tapi, jika berbicara jujur tentu kami rindu sekali merayakannya di kampung halaman bersama keluarga besar. Namun apa harap kami, hanya sebatas harapan," kata Akhsan kepada Tempo, Ahad, 8 Mei 2022.
Akhsan menyebut ada perbedaan antara Lebaran di Pakistan dan di Indonesia mulai malam takbir hingga hari raya. Menurut pria itu, kepastian besok adalah hari raya dapat diketahui dari suara ledakan meriam tiga kali dan disusul suara gema takbir. Di sini, muslim Indonesia mengetahui besok hari raya melalui televisi dan kemudian disusul takbiran di masjid dan musala.
"Di negara kita menandakan datangnya hari raya, itu pemberitahuannya melalui suara meriam. Mendengar itu warga pasti bersuka ria, keluar dan mendatangi rumah warga lainnya. Sama-sama bertakbir, hingga pagi salat Id. Berbeda dengan di sini, mendatangi rumah warga itu dilakukan setelah salat id. Tapi di sini makanannya enak-enak dan warganya ramah tidak membedakan kami," kata Akhsan.
Hal yang sama dirasakan Khudad Ibrohimi, imigran asal Afganistan yang tinggal di Cikopo, Megamendung, Puncak. Meski memiliki kerinduan kepada kampung halaman saat hari raya idul fitri, Khudad mengaku lebih bahagia merayakan lebaran di tempatnya saat ini.
Menurut Khudad, di kampung halamannya belum tentu dirinya bisa merasakan meriahnya lebaran. Kondisi negaranya saat ini sedang konflik dan sering terjadi perang antarsuku.
"Apalagi saat Taliban kembali menguasai negara dan pemerintah, akan banyak hal yang dilarang. Terutama perayaan yang berlebihan. Saya lebih senang beridul fitri di sini, aman dan bisa merasakannya. Di negara asal, ada kemungkinan saya tidak bisa merayakan semeriah perayaan di sini," kata Khudad.
Sudah tinggal di Puncak lebih kurang 10 tahun, pengungsi Afganistan itu merasa dirinya sudah menjadi bagian warga kampung Cikopo. Saat momen Idul Fitri, dia ikut salat berjamaah dan berkeliling ke rumah-rumah warga untuk bersilaturahmi.
Bahkan, Khudad mengatakan di momen Idul Fitri ini dia bisa menikmati makanan lezat seperti rendang, semur dan sup buatan warga.
"Ada rasa kesedihan dan ingat keluarga di negara asal, tapi apa boleh buat ini yang harus kami terima. Saya pun sudah merasa ini menjadi kampung halaman saya sendiri," kata Khudad.
Kepala Desa Batulayang, Iwan Setiawan mengatakan tidak pembedaan kepada imigran saat perayaan Idul Fitri di desanya. Iwan mengatakan, para pengungsi sudah dianggap seperti warganya sendiri. Selain itu, imigran yang ada di desa nya pun bersikap baik dan bersahabat dengan warga desa lainnya.
"Warga juga tidak mempermasalahkan, karena kita semua paham. Kedatangan mereka ke desa kita karena negaranya sedang berperang. Kita berbicara kemanusiaan saja, apalagi sebagai sesama muslim sudah seharusnya kita saling tolong menolong. Khususnya di hari raya ini kita ingin semua merasakan kemenangan dan perang yang terjadi segera berakhir," kata Iwan.
Iwan menyebut para imigran turut serta salat id berjamaah di mesjid, bersilaturahmi dan merayakan hari raya bersama. Bahkan, warga yang sudah sangat dekat dengan imigran melakukan kunjungan balasan ke rumah kontrakan para pengungsi sambil membawa ketupat dan sayur nya.
M.A MURTADHO
Baca juga: Cerita Imigran Afghanistan di Megamendung Setelah Taliban Berkuasa