TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mengecam pembubaran paksa demonstran yang menolak Daerah Otonomi Baru di Papua pada 10 Mei 2022.
KontraS menilai terjadi tindakan seperti pembubaran paksa, pemukulan, pengejaran, penembakan dan penangkapan sewenang-wenang dalam pembubaran itu.
“Sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi di berbagai daerah seperti Abepura dan Heram,” kata Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar lewat keterangan tertulis, Rabu, 11 Mei 2022.
Rivan mengatakan penolakan terhadap DOB yang disuarakan masyarakat Papua merupakan ekspresi yang sah dan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Dia mengatakan peristiwa kekerasan ini semakin memperlihatkan negara masih diskriminatif dan mengutamakan pendekatan keamanan saat menanggapi aspirasi masyarakat Papua.
Rivan menilai kekerasan yang dilakukan aparat itu sistematis. Sebab, dilakukan atas perintah Polda Papua lewat surat telegram. Dia mengatakan hal tersebut merupakan bentuk pengerahan kekuatan secara berlebihan. Langkah yang diambil polisi, kata dia, menyebabkan 10 orang luka akibat dipukul, dan terpapar gas air mata.
“Dari sejumlah video yang beredar pun, kepolisian terlihat begitu brutal dalam penanganan aksi dengan menyerang demonstran terlebih dulu tanpa alasan yang jelas,” kata dia.
Rivan mengatakan penolakan Orang Asli Papua terhadap daerah otonomi baru sudah terjadi sejak 1999. Akan tetapi, tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada 2003 dan dilegalkan pada 2021. Padahal, kata dia, penolakan masyarakat Papua berangkat dari proses perumusan yang tidak partisipatif, sebab Orang Asli Papua tak pernah serius untuk diajak bicara.
Baca juga: Polda Papua Barat Imbau Warga Tak Terprovokasi Rencana Demo Tolak DOB