TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengakui aksi kriminalitas oleh pelajar atau anak muda mulai marak beberapa hari terakhir. Mereka mencatat, setidaknya ada 3 faktor yang memicu aksi kriminalitas, seperti tawuran dan begal itu kini kembali banyak dilakukan pelajar.
3 faktor pemicu tawuran pelajar
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menjelaskan, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi catatan tenaga pendidik terhadap maraknya kasus kriminalitas pelajar ini.
1. Faktor belajar daring selama pandemi
Pertama berkaitan dengan faktor dampak Pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas pelajar minim interaksi karena pembelajaran jarak jauh (PJJ).
"Jadi saya melihat ini lebih kepada motif, tanda kutip pelampiasan ya secara sosial karena mereka selama 2 tahun terpaksa belajar dari rumah dan tidak bisa berinteraksi secara bebas dengan teman," kata dia saat dihubungi, Senin, 30 Mei 2022.
2. Mudahnya akses informasi media sosial
Kedua, Satriwan melanjutkan, ini juga dipengaruhi semakin mudahnya akses informasi yang diterima anak-anak sekolah melalui perkembangan teknogi, seperi internet dan media sosial. Selama belajar tatap muka ini, mereka menurutnya semakin mudah mengakses internet.
"Kita tahu orang tua murid, guru, selama pembelajaran jauh ini anak-anakkan sangat bergantung pada gawai, akses digital, karena pembelajaran berbasis online, sehingga berdampak pada psikologi mereka," ucap Satriwan.
Melalui informasi yang mereka terima dan minimnya pengawasan langsung guru dan orang tua, Satriwan berpendapat, pola pikir anak-anak sekolah saat ini lebih terbentuk dari informasi media sosial. Termasuk aksi-aksi kriminalitas seperti tawuran hingga begal.
Selama pembelajaran jarak jauh ini, anak, kata Satriwan, 4 jam dituntut berinteraksi dengan konten-konten digital, seperti di YouTube, Tik Tok, Instagram, dan media sosial lainnya. Akibatnya, konten negatif yang dikonsumsi memacu mereka untuk melakukan aksi viral dan sensasional supaya diakui temannya.
"Sehingga berdampak pada psikologi mereka. 2 tahun ini mereka sangat bergantung pada hp, kemudian mereka berinteraksi selalu dengan hp. Jadi saya rasa anak-anak selama ini ya diasuh oleh konten-konten digital, media sosial, karena interaksi mereka dengan guru dan sekolah itu sangat terbatas," ucapnya.
3. Esensi Pancasila belum terimplementasi
Faktor ketiga, Satriwan menjelaskan, program Pelajar Pancasila yang diinisaiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum implementatif. Akibatnya, esensi dari program ini menurut dia belum bisa ditanamkan tenaga pengajar kepada anak didiknya secara benar.
"Baru ditangkap sebatas program. Jadi belum punya daya dobrak, daya gerak, kepada guru-guru, siswa, dan seterusnya. Sehingga menciptkan ekosistem pembelajaran nilai-nilai pancasila. Jadi ini yang perlu menjadi evaluasi mendasar dari Kemendikbudristek," kata Satriwan.
Sebagai informasi, beberapa hari terakhir, kasus tawuran hingga begal oleh pelajar kembali marak di Ibu Kota. Jajaran Unit Reskrim Polsek Jatinegara misalnya, telah menangkap satu orang pelaku tawuran yang mengakibatkan seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP) berinisial F (17) tewas di kawasan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur.
Kanit Reskrim Polsek Jatinegara, Iptu Zulkasman menjelaskan satu pelaku tawuran yang ditangkap tersebut berinisial DA. "Sudah ada yang kita amankan satu orang terkait kasus tersebut yaitu pelakunya. Masih pelajar SMK, inisial DA," kata Zulkasman di Jakarta, Minggu, 29 Mei 2022.
Baca juga: Polisi Tangkap Pelajar SMK Terlibat Tawuran yang Tewaskan Siswa SMP