TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta mengkritik tindakan Polres Metro Jakarta Selatan yang menetapkan enam pekerja Holywings sebagai tersangka dengan berbagai pasal karet. Proses hukum itu dinilai sebagai tindakan reaktif karena tekanan massa, serta prematur.
“Dan menambah panjang daftar korban penerapan eksesif pasal karet mulai dari pasal ‘ujaran kebencian’, penodaan agama, dan kabar bohong,” ujar Kepala Advokasi dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora lewat keterangan tertulis pada Senin, 27 Juni 2022.
LBH Jakarta berpendapat proses hukum terhadap para pekerja Holywings bermasalah dengan beberapa alasan. Berikut detail alasannya:
1. Polisi bertindak reaktif dan menunjukkan standar ganda jika dibandingkan dengan penanganan kasus-kasus lain
Menurut LBH Jakarta, kasus Holywings merupakan kasus kedua dalam satu bulan ini setelah sebelumnya polisi bertindak reaktif dalam kasus ‘rendang babi’ karena viral di media sosial. Sebaliknya, polisi kerap menolak laporan, misalnya perempuan korban pemerkosaan ditolak oleh Polresta Banda Aceh dengan alasan belum vaksin Covid-19.
“Atau kasus lain penolakan anggota Polsek Pulogadung atas laporan korban perampokan,” kata Nelson.
Penangkapan pekerja Holywings, kata Nelson, juga membuktikan bahwa kepolisian mendefinisikan sendiri kerugian akibat tindakan yang dituduhkan dan kepolisian seolah-olah bertindak sebagai korban. “Penerapan pasal karet eksesif, ditambah pengaduannya dibuat oleh anggota kepolisian sendiri menambah bukti subjektivitas aparat dalam penegakan hukum pidana,” tutur dia.
2. Pekerja Holywings dituduh melakukan penodaan agama
Pekerja Holywings dituduh melakukan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP. Pasal ini diselipkan ke dalam KUHP melalui Pasal 4 UU 1/PNPS/1965. Sehingga sebelum seseorang dijatuhi pidana UU Nomor 1/PNPS/1965 terlebih dahulu harus ada tindakan dari Menteri Agama bersama Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden.
Hal itu dijelaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu, persyaratan formil-administratif dalam Pasal 3 harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum Pasal 4 dapat diterapkan. “Namun hal itu tidak dilakukan dalam kasus ini, sehingga proses hukum menjadi sewenang-wenang karena prematur,” ujar Nelson.
3. Penerapan pasal terhadap 6 pegawai Holywings tidak tepat
LBH Jakarta menilai bahwa penerapan pasal-pasal untuk menetapkan enam pegawai Holywings sebagai tersangka tidak tepat. Pengenaan pasal itu lebih dikarenakan pasal-pasalnya karet (multitafsir). Hal itu menguatkan dugaan bahwa penegakan hukum pada kasus ini merupakan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan.
Jika dirunut, terdapat 3 klaster penggunaan pasal. Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1/1946, LBH Jakarta sejak awal mengecam pasal ‘pukat harimau’ ini yang kerap diterapkan secara eksesif. Pasalnya, ketentuan pidana ini dapat menjerat ekspresi yang sah dan dilindungi konstitusi dengan memuat unsur-unsur tindak pidana yang karet.
Salah satu unsur dalam Pasal ini berkenaan dengan ‘berita atau pemberitahuan bohong’. “Jika dikaitkan dengan kasus ini, jelas unsur yang dimaksud tidak terbukti karena promo minuman beralkohol gratis bukanlah berita atau pemberitahuan bohong, melainkan benar adanya,” kata Nelson.
Pasal 156 atau 156A KUHP. Kasus ini semakin meneguhkan bahwa pasal penodaan agama sebagaimana diatur dalam PNPS 1/1965 memang bermasalah. Hal itu sebagaimana terungkap dalam proses persidangan perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 di Mahkamah Konstitusi yang di tahun 2017 juga menelan korban Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Proses hukum dengan menggunakan pasal penodaan agama semakin lama semakin multitafsir dan menimbulkan pertanyaan. “Apakah di kemudian hari orang yang bernama Muhammad jika meminum minuman keras bisa juga dihukum dengan alasan karena menodai agama?” ucap dia mempertanyakan.
Dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Berdasarkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE disebutkan bahwa perbuatan yang dilarang dalam pasal itu bentuk maupun tujuannya harus membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA, bukan karena akibatnya yang ‘membuat orang lain menjadi benci dengan orang yang berbuat’. “Itu ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri”
Sehingga jika dikaitkan dengan kasus ini, promo minuman beralkohol gratis bagi pengunjung yang memiliki nama Muhammad dan Maria, tidak dapat dijerat dengan ketentuan pidana pasal ini. Penggunaan ketentuan pidana dalam UU ITE tanpa mengindahkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE memperlihatkan ketidakpatuhan penyidik terhadap ketentuan yang dibuat Kapolri.
4. Ada pelanggaran prosedur hukum acara pidana dalam penanganan
Sebagaimana telah disinggung di atas, penyidik pada Polres Metro Jakarta Selatan ‘mengamankan’ EJD, NDP, DAD, EA, AAB dan AAM untuk diperiksa sebagai saksi. Dalam KUHAP tidak dikenal tindakan yang disebut ‘mengamankan’, yang dikenal adalah upaya paksa dalam bentuk penangkapan (Pasal 1 angka 20 KUHAP) yang hanya boleh dilakukan terhadap seorang tersangka.
Sehingga berdasarkan fakta itu jelas bahwa enam orang pekerja Holywings ditangkap sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menetapkan ketentuan mengenai penetapan tersangka yang tidak hanya berdasarkan dua alat bukti, tapi juga ditambah dengan pemeriksaan terhadap calon tersangkanya.
5. Holywings akan memberikan sanksi berat terhadap enam pekerjanya
Dalam beberapa pemberitaan, ditemukan fakta bahwa pihak Holywings akan memberikan sanksi berat terhadap enam pekerjanya yang ditetapkan sebagai tersangka. Sebagai pemberi kerja, Holywings tidak boleh hanya menekankan sanksi yang akan dijatuhkan, melainkan tetap harus memenuhi hak enam Pekerja/ Buruh tersebut.
“Itu berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PP 35/2021, enam pekerja berhak atas bantuan kepada keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungannya dalam hal mereka sedang ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
Menurut Nelson, hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir. Yang seharusnya digunakan dalam upaya-upaya lain untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan.
Dalam kasus ini, sudah sepatutnya digunakan terlebih dahulu upaya-upaya lain di luar hukum pidana seperti klarifikasi atau mediasi maupun upaya di bidang hukum lain. Penggunaan instrumen hukum pidana sebagai langkah awal dan utama (premium remedium) justru menguatkan dugaan bahwa aparat penegak hukum tidak paham dan taat asas.
“Serta dalam pelaksanaan kerja-kerjanya rentan akan tekanan massa.”
Baca juga: Anies Cabut Izin Usaha Seluruh Kafe Holywings di Jakarta