TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai kebijakan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi tembakau di Indonesia masih setengah hati. Manajer Program PBHI Gina Sabrina mengatakan berbagai kebijakan pengendalian konsumsi tembakau itu juga masih di bawah standar HAM.
Ada 3 aspek kebijakan yang menjadi sorotan PBHI sehingga kesimpulan itu didapat. Gina memberi contoh peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok, misalnya. Sebagian besar peringatan itu telah memenuhi ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam aspek persetujuan lembaga pemerintah, posisi gambar, ketentuan gambar, dan model gambar.
Namun, pengaturan ihwal ukuran gambar masih belum memenuhi kriteria FCTC secara keseluruhan yakni 50 persen dari ruang peraga utama. Target dari pemerintah Indonesia sendiri yang menginginkan peningkatan luas peringatan bergambar menjadi 75 persen.
"Belum tercapainya target pemerintah yang menargetkan ukuran gambar sebesar 75 persen dalam peringatan kesehatan bergambar sesuai dengan Peta Jalan Pengendalian Tembakau dalam Permenkes 40/2013," kata Gina melalui siaran pers, Rabu, 29 Juni 2022.
Belum Ada Regulasi Rokok Elektrik
Hingga saat ini pemerintah juga belum secara tegas mengkategorisasi rokok elektrik dalam bentuk hukum yang tegas. Ini menurutnya berdampak pada belum adanya regulasi yang mengatur peredaran dan penggunaan rokok elektrik di Indonesia.
Akibatnya, rokok elektrik masih dapat dijual secara bebas tanpa label peringatan, batasan kandungan, dipasarkan dengan berbagai cara, dan tidak tunduk pada Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Satu-satunya pengaturan rokok elektrik di tingkat pusat hanya berkaitan dengan cukai.
Adapun peraturan lainnya di tingkat daerah adalah Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kabupaten Badung dan Kota Depok yang mengkategorikan rokok elektrik sebagai bagian dari rokok dan dilarang penggunaannya di ruang publik.
"Peraturan yang berkaitan dengan penjualan, penggunaan, periklanan, promosi dan sponsorship sama sekali belum diatur di Indonesia. Singkatnya, pemerintah Indonesia bertindak setengah hati karena hanya mengatur terkait cukai rokok elektrik tapi tidak dengan pengendaliannya," ucap dia.
Akses Penjualan Rokok Terhadap Anak
Di luar itu, PBHI juga menemukan pengaturan akses penjualan rokok terhadap anak dan kaum marjinal di Indonesia memiliki ketentuan hukum yang lemah dengan celah yang begitu besar. Ini turut membuka ruang baik bagi industri untuk menjual rokok dan juga membuka akses beli yang mudah terhadap anak.
"Catatan terkait hal tersebut antara lain: kekosongan hukum terkait penjualan rokok secara batangan, sanksi administratif yang bersifat lemah dan masih diperbolehkannya penempatan produk rokok di ruang publik," kata Gina.
Dari ketiga aspek yang menjadi sorota itu, Gina berujar, ditemukan muatan regulasi dan kebijakan pengendalian tembakau yang berlaku saat ini belum memenuhi standar HAM. Ditunjukkan dari kealpaan pengaturan pengendalian tembakau khususnya di isu rokok elektrik dan akses penjualan terhadap anak dan kelompok marjinal.
Padahal negara memiliki kewajiban untuk tidak mendorong orang untuk menggunakan tembakau. Untuk itu PBHI merekomendasikan perubahan regulasi dan kebijakan, khususnya PP 109/2012 agar dapat mengatur hal-hal yang masih belum memenuhi standar HAM.
"Muatan regulasi dan kebijakan pengendalian tembakau yang berlaku saat ini belum memenuhi standar HAM. Berbagai celah dan kealpaan hukum tersebut menunjukkan perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dan lingkungan warga negara yang masih rendah," ujar Gina.
Baca juga: Seruan Larangan Merokok Anies Diprotes Kalangan Ritel dan Industri Tembakau