TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (Kopaja) menilai penunjukan puluhan penjabat kepala daerah telah melanggar hak konstitusional, mencederai prinsip demokrasi, dan melanggar asas umum pemerintahan yang baik. Pelanggaran itu terjadi karena hingga saat ini pemerintah belum menerbitkan peraturan pelaksana sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Lewat keterangan tertulis Senin, 4 Juli 2022, Kopaja menjelaskan pada 1 Juli 2016, pemerintah mengesahkan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang.
Undang-undang itu mengatur mengenai pengangkatan Penjabat Kepala Daerah, khususnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016. Di dalamnya disebutkan pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota pada November 2024.
Kebijakan ini kemudian berimplikasi pada terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir di tahun 2022 dan 2023. “Adapun pada 2022 ini telah berdampak pada kekosongan di tujuh jabatan Gubernur, 76 jabatan Bupati, dan 18 jabatan Wali Kota hingga menjelang waktu dilaksanakannya pemungutan suara serentak pada bulan November 2024 mendatang,” kata pihak Kopaja, Senin.
Untuk mengatasi kekosongan jabatan sementara itu, pemerintah melalui Pasal 201 ayat (9), (10) dan (11) UU 10/2016 menyatakan akan mengangkat penjabat gubernur, bupati dan wali kota sampai dengan pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. “Hal ini tentu telah mencederai demokrasi karena telah menghilangkan partisipasi masyarakat, tidak terbuka, transparan dan akuntabel,” katanya.
Padahal secara tegas, Pasal 205 C UU 10/2016 mengatur dengan tegas bahwa dalam rangka pengangkatan penjabat atau Pj kepala daerah baik gubernur, bupati atau pun wali kota. Pemerintah harus menyiapkan peraturan pelaksana dalam waktu tiga bulan terhitung sejak UU 10/2016 diundangkan.
Perintah tersebut juga disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021 bahwa Pemerintah harus menerbitkan peraturan pelaksana pengangkatan penjabat kepala daerah agar tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas. Alih-alih pengangkatan yang transparan, pemerintah justru enggan terbitkan aturan.
“Sayangnya hingga hari ini, sudah hampir enam tahun berselang pasca-pengesahan UU 10/2016, pemerintah tak kunjung menerbitkan peraturan pelaksana sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU 10/2016 dan Putusan MK,” tulis Kopaja.
Ketiadaan aturan pelaksana itu dinilai menimbulkan kondisi hukum yang semrawut setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengangkat lima penjabat gubernur serta 43 penjabat bupati/ wali kota pada 25 Mei 2022 lalu. Proses penunjukan kepala daerah yang dilakukan tanpa memperhatikan kerangka Vetting Mechanism dan mengakibatkan tidak berjalannya uji pemeriksaan komprehensif terkait rekam jejak dan kompetensi penjabat yang ditunjuk/dilantik.
Hal itu secara terang dibuktikan dengan ditunjuknya perwira TNI aktif sebagai pejabat kepala daerah, yaitu Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. “Tindakan pemerintah ini melanggar hak konstitusional warga negara secara luas, mencederai prinsip demokrasi, serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).”
Baca juga: 2 Kepala Daerah PKS Unggah Pertemuan dengan Anies Baswedan, 'Belajar Banyak'